Seorang anak kecil, kelas tiga SD diajak oleh teman-temannya mengganggu sarang tawon. Â Ini menjadi pengalaman pertamanya, bahkan digigit tawon pun ia belum pernah, sehingga tak tahu bagaimana rasanya.
Singkat cerita, tibalah mereka di bawah pohon yang di atasnya terdapat sarang tawon tersebut dengan masing-masing bersenjatakan batu. Â Karena postur tubuh dirinya paling kecil di antara teman-temannya, maka seperti lazimnya anak kecil pada umumnya, anak yang bertubuh paling besar dan paling tinggilah yang pegang komando.
Selanjutnya, melayanglah batu dari anak terbesar menghantam sarang tawon, dan tanpa dikomando berhamburanlah anak-anak nakal yang isengnya di luar batas tadi.
Namun, anak kecil kita yang non pengalaman, hanya menatap bingung teman-temannya, "Kenapa harus lari?", tanyanya kebingungan sambil menatap beberapa tawon yang berterbangan keluar, guna memeriksa kerusakan tempat huniannya. Â Tak sampai hitungan menit, tawon yang tadinya berniat memeriksa seberapa parah kerusakan rumahnya, serta merta melesat terbang menghampiri sang anak. Â Maka tak ayal dua sampai lima tawon mendarat di kepala, yang membuat anak tadi menjerit kesakitan.
Baru kemudian ia berlari seperti orang dikejar hantu. Â Sejak itulah sang anak belajar, bahwa jangan bertanya dalam keadaan kritis, betapapun kita tak mengerti apa yang terjadi. Â Jika semua orang lari, maka larilah secepat yang kita bisa, mengenai penyebabnya jangan dipikirkan, yang penting lari dulu. Â Dan sejak saat itu pula ia tahu, bahwa tawon termasuk dalam spesies mahluk hidup terkutuk.
Di peristiwa lain, masih tentang seorang anak kecil. Â Kali ini ia memelihara dua ekor anak kelinci, yang didapatnya setelah merengek tatkala sang ibu mengajaknya ke pasar suatu pagi. Â Sepasang kelinci imut tadi dibawanya pulang, dengan harapan bisa berteman dengan kucing garong yang sudah dipeliharanya lebih dulu beberapa tahun lalu.
Ternyata, pikiran si anak dan kucing garong, untuk kali ini tidak sejalan. Â Sesampai di rumah, pada sore harinya si anak bermaksud memperkenalkan kelincinya kepada si kucing, bukan pelukan dari kucing yang didapat, melainkan terkaman dengan maksud menelan mentah-mentah
Beruntung sang ibu sigap melerai, walaupun hasilnya kaki depan sang kelinci terpaksa harus robek dan berdarah. Â Si kelinci pucat pasi, sang anak menangis melolong-lolong seperti digigit setan. Â Si ibu serba salah, mau memukul si kucing, khawatir membuat anak kesayangannya trauma, tidak dipukul yah bikin jengkel.
Namun bukan ibu namanya jika tak cerdik, saat si anak sedang sibuk menangisi kelincinya, si ibu membawa kucing garong yang sempat kebingungan ke arah dapur.
Belum habis kebingungan si kucing, tiba-tiba dia merasakan rasa panas membakar mulut dan hidungnya. Â Lima butir cabe rawit merah tua dengan secepat kilat dijejali sampai lumat ke mulut si kucing. Â Sekarang giliran si kucing melolong-lolong, setelah kaget semenit dua, lalu lari sipat kuping entah kemana.
Tiga hari kemudian, si kucing tak mengganggu kelinci lagi, walaupun para kelinci bermain sambil mengejek di depan hidungnya. Â Hanya tatapan matanya yang memandang penuh dendam kesumat. Â Ternyata, kendatipun otaknya tak lebih besar dari biji kacang, seekor kucing mempunyai daya ingat dan mampu belajar dari pengalaman, bahwa menggigit kelinci sama saja dengan membuat mulut terbakar kepedasan.