Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Suami Nakal, Beli Rumah Diam-diam

23 Februari 2020   00:37 Diperbarui: 23 Februari 2020   00:37 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang pria flamboyan, mapan dan sudah menikah berniat membelikan rumah untuk teman wanita yang dijadikan teman hidupnya dan tidak diketahui oleh istrinya yang cantik dan baik serta memiliki anak yang tak kalah baik dan rupawannya. Begitulah aturan dunia, jika umat manusia sudah tak merasa cukup dengan anugerah yang telah didapat.

Demi menjaga perasaan sang istri, serta kemungkinan terjadinya perang maha dahsyat di keluarga kecilnya yang bahagia, si suami tak tahu diuntung tadi membeli rumah secara diam-diam pula yang sudah barang tentu tanpa diketahui sang istri.

Oleh karena tidak mencintai wanita idaman lainnya sepenuh hati, maka rumah yang dibelikan untuk wanita keduanya itu tidak diatas namakan dirinya, melainkan dibeli atas nama si pria sendiri. 

Tepat dugaan sang pria, belum genap tiga tahun hubungan terlarang mereka berjalan, sang wanita menawarkan bubar jalan, dengan alasan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Dikarenakan pernikahan yang dilakukan dengan si wanita hanyalah pernikahan yang dilaksanakan di depan pemuka agama (baca: tidak merujuk kepada satu agama), maka proses perceraiannya pun tak begitu rumit.

Cukup minta izin dan minta maaf kepada Tuhan, serta merta perceraian pun sah adanya. Dan demi harga diri, sang wanita pergi dari rumah yang ditempati, hanya dengan membawa beberapa barang yang kegunaannya jelas adanya saja. Seperti kendaraan dan seperangkat perhiasan beserta pakaian luar maupun dalam.

Sudah barang tentu sang pria kecewa berat, namun tak sampai terlalu parah karena rumah yang dibelinya dengan harga yang lumayan mahal tadi tak dibawa serta. 

Maka, dengan niat menghapus masa lalu, dan mencegah agar tak tergoda untuk mencari belahan jiwa lain demi menempati rumah yang mendadak kosong, sang pria bersicepat menawarkan rumahnya ke sana kemari. 

Dijual dengan harga pasar, dan oleh karena nilai jual rumah jarang turun adanya, maka keuntungan setelah rumah dibeli tiga tahun lalu dipastikan relative besar. Lumayanlah sebagai hiburan setelah seminggu dua sebelumnya galau oleh sebab dicampakkan oleh pujaan hatinya.

Namun alangkah terkejutnya sang pria, tatkala mengetahui bahwa untuk menjual rumahnya, karena dirinya terikat pernikahan yang sah, maka harus mendapat persetujuan istri yang sah pula. 

Ternyata sang pria kita tadi, kendatipun flamboyan dan mapan, namun miskin literasi dalam hal hukum pertanahan. Untuk tiga bulan ke depan, bisa dipastikan sang pria bakal tak enak makan dan tak nyenyak tidur mengingat rumah panas tersebut dibeli tanpa sepengetahuan sang istri sah.

Dalam peristiwa yang lain, seorang pembeli rumah, yang karena keluguannya membeli sebidang tanah dan bangunan dari seseorang yang mengaku tanah dan bangunan yang mereka jual adalah tanah warisan orang tuanya. 

Singkat cerita dibelilah tanah dan bangunan tersebut dari para penjual yang disetujui oleh kakak beradik yang kesemuanya berjumlah empat orang, bahkan lengkap dengan istrinya masing-masing. Namun, beberapa tahun kemudian, setelah tanah dan bangunan ditempati dan dikelola oleh pembeli baru, datang gugatan dari orang yang mengaku sebagai salah satu ahli waris tanah dan bangunan yang dibelinya. 

Gugatan dilayangkan, karena ternyata si penggugat merupakan saudara tiri dari empat orang kakak beradik yang menjual tanah dan bangunan yang baru dibelinya. 

Saudara tiri ini merupakan anak dari istri kedua dari ayah para penjual tanah yang telah dinikahi secara sah, tidak sekedar menikah di depan pemuka agama, melainkan ke Kantor Urusan Agama atau Kantor Pendudukan dan Catatan Sipil setempat. 

Tak sekedar melayangkan gugatan, sang saudara tiri juga melaporkan para saudaranya dan si pembeli rumah kepada polisi, dengan tuduhan menjual rumah secara illegal dan membeli rumah illegal pula, sehingga dianggap sebagai penadah. Serta merta mereka semua ditetapkan sebagai tersangka pelaku kejahatan, dengan tuduhan secara bersama-sama menyerobot dan menduduki tanan dan bangunan milik orang lain.

Hukum Pertanahan dan Hukum Perkawinan

Dalam pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan: selama para pihak suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah tidak mengatur mengenai "Perjanjian Perkawinan", maka dalam perkawinan tersebut telah terjadi percampuran harta suami istri yang disebut sebagai "Harta Bersama". Segala harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 

Pengaturan mengenai harta bersama dijelaskan dalam pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan bahwa suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak. 

Dengan demikian salah satu pihak baik suami maupun istri tidak dapat mengesampingkan atau meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta tersebut, karena kedudukan mereka seimbang, yaitu sebagai pemilik harta bersama tadi.

Dalam kasus di atas, tanah yang telah dibeli oleh suami, secara serta merta menjadi harta bersama yang dimiliki oleh istri dan anak, tak peduli pada saat suami melakukan pembelian tidak mendapat persetujuan sang istri. 

Namun demikian, pada saat sang suami ingin menjual tanah tersebut dalam peraturan pertanahan, khususnya mengenai harta bersama terhadap benda tidak bergerak, yaitu tanah dan bangunan, para notaris atau pejabat pembuat akta tanah wajib meminta persetujuan pasangannya jika yang ingin menjual tanah adalah orang yang sudah menikah. 

Dan jika yang menjual tanah adalah orang yang sudah menikah, namun pasangannya sudah meninggal, maka notaris atau pejabat pembuat akta tanah wajib meminta persetujuan dari anak selaku ahli waris harta bersama tersebut. Karena harta bersama milik orang tua, akan mewaris kepada para anak dan salah satu orang tua yang masih hidup. Jika kedua orang tua sudah meninggal, maka mewaris kepada anak-anaknya.

Jadi sang suami flamboyan di atas, terpaksa harus melibatkan istrinya untuk menjual tanah, yaitu dengan cara bersama-sama dengan pihak pembeli datang dan menghadap kepada notaris atau pejabat pembuat akta tanah guna melakukan proses jual beli tanah tersebut. 

Jika sang istri tidak bersedia, maka jual beli tanah tidak sah syarat formalnya, sehingga dianggap batal demi hukum. Untuk kasus yang kedua, para kakak beradik memalsukan keterangan di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah, dengan cara menyembunyikan fakta bahwa ayah mereka memiliki dua istri yang dinikahi secara sah, sehingga dianggap sebagai pemilik sah harta bersama juga. 

Dalam melakukan penjualan tanah dan bangunan tersebut mereka menyembunyikan kenyataan tadi, dengan cara tidak berterus terang kepada notaris atau pejabat pembuat akta tanah bahwa ayah mereka almarhum memiliki istri lain yang sah selain ibunya sendiri, serta tanah dan bangunan yang akan dijual tersebut juga diperoleh ayahnya saat sudah terikat perkawinan yang sah dengan istri keduanya tersebut. 

Akibatnya, tatkala pihak istri kedua merasa dirugikan, karena merasa tidak memberi persetujuan dalam penjualan tanah dan bangunan yang dimilikinya secara bersama dengan suaminya, maka menggugatlah mereka. 

Bahkan melaporkan mereka kepada polisi sebagai perbuatan pidana, menjual harta yang bukan murni miliknya. Alhasil, pintu penjara terbuka lebar bagi mereka selaku penjual, dan pembelinya yang tak tahu menahu pun ikut menanggung akibatnya.

Pesan moral dari kasus di atas, alangkah bijaknya jika para suami selaku pelindung bagi istrinya, jika membeli harta benda untuk keluarganya, khususnya untuk tanah atau bangunan, janganlah sembunyi-sembunyi dan berat hati untuk menggunakan nama sang istri. 

Toh bagaimanapun juga sang istri tak bisa menjual tanah dan bangunan tersebut tanpa suami ikut serta, jika yang ditakutkan oleh sebagian suami adalah: khawatir jika nanti tanah atau bangunannya dijual secara diam-diam oleh sang istri. 

Pencantuman nama istri juga menunjukkan bahwa sang suami lebih memikirkan kepentingan istrinya, sebab jika oleh karena sesuatu dan lain hal sang suami terlebih dahulu dipanggil menghadap sang Pencipta, maka istri tak perlu kalang kabut mengurus balik nama surat kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut. 

Jadi cukuplah sang istri bersedih karena ditinggal pergi suami, tidak usah ditambah lagi pusing kepala dengan masalah baru mengurus balik nama seluruh harta benda yang selama ini tercantum atas nama suaminya tadi.

Tangerang, 23 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun