Jadi sang suami flamboyan di atas, terpaksa harus melibatkan istrinya untuk menjual tanah, yaitu dengan cara bersama-sama dengan pihak pembeli datang dan menghadap kepada notaris atau pejabat pembuat akta tanah guna melakukan proses jual beli tanah tersebut.Â
Jika sang istri tidak bersedia, maka jual beli tanah tidak sah syarat formalnya, sehingga dianggap batal demi hukum. Untuk kasus yang kedua, para kakak beradik memalsukan keterangan di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah, dengan cara menyembunyikan fakta bahwa ayah mereka memiliki dua istri yang dinikahi secara sah, sehingga dianggap sebagai pemilik sah harta bersama juga.Â
Dalam melakukan penjualan tanah dan bangunan tersebut mereka menyembunyikan kenyataan tadi, dengan cara tidak berterus terang kepada notaris atau pejabat pembuat akta tanah bahwa ayah mereka almarhum memiliki istri lain yang sah selain ibunya sendiri, serta tanah dan bangunan yang akan dijual tersebut juga diperoleh ayahnya saat sudah terikat perkawinan yang sah dengan istri keduanya tersebut.Â
Akibatnya, tatkala pihak istri kedua merasa dirugikan, karena merasa tidak memberi persetujuan dalam penjualan tanah dan bangunan yang dimilikinya secara bersama dengan suaminya, maka menggugatlah mereka.Â
Bahkan melaporkan mereka kepada polisi sebagai perbuatan pidana, menjual harta yang bukan murni miliknya. Alhasil, pintu penjara terbuka lebar bagi mereka selaku penjual, dan pembelinya yang tak tahu menahu pun ikut menanggung akibatnya.
Pesan moral dari kasus di atas, alangkah bijaknya jika para suami selaku pelindung bagi istrinya, jika membeli harta benda untuk keluarganya, khususnya untuk tanah atau bangunan, janganlah sembunyi-sembunyi dan berat hati untuk menggunakan nama sang istri.Â
Toh bagaimanapun juga sang istri tak bisa menjual tanah dan bangunan tersebut tanpa suami ikut serta, jika yang ditakutkan oleh sebagian suami adalah: khawatir jika nanti tanah atau bangunannya dijual secara diam-diam oleh sang istri.Â
Pencantuman nama istri juga menunjukkan bahwa sang suami lebih memikirkan kepentingan istrinya, sebab jika oleh karena sesuatu dan lain hal sang suami terlebih dahulu dipanggil menghadap sang Pencipta, maka istri tak perlu kalang kabut mengurus balik nama surat kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut.Â
Jadi cukuplah sang istri bersedih karena ditinggal pergi suami, tidak usah ditambah lagi pusing kepala dengan masalah baru mengurus balik nama seluruh harta benda yang selama ini tercantum atas nama suaminya tadi.
Tangerang, 23 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H