Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Suami Nakal, Beli Rumah Diam-diam

23 Februari 2020   00:37 Diperbarui: 23 Februari 2020   00:37 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Singkat cerita dibelilah tanah dan bangunan tersebut dari para penjual yang disetujui oleh kakak beradik yang kesemuanya berjumlah empat orang, bahkan lengkap dengan istrinya masing-masing. Namun, beberapa tahun kemudian, setelah tanah dan bangunan ditempati dan dikelola oleh pembeli baru, datang gugatan dari orang yang mengaku sebagai salah satu ahli waris tanah dan bangunan yang dibelinya. 

Gugatan dilayangkan, karena ternyata si penggugat merupakan saudara tiri dari empat orang kakak beradik yang menjual tanah dan bangunan yang baru dibelinya. 

Saudara tiri ini merupakan anak dari istri kedua dari ayah para penjual tanah yang telah dinikahi secara sah, tidak sekedar menikah di depan pemuka agama, melainkan ke Kantor Urusan Agama atau Kantor Pendudukan dan Catatan Sipil setempat. 

Tak sekedar melayangkan gugatan, sang saudara tiri juga melaporkan para saudaranya dan si pembeli rumah kepada polisi, dengan tuduhan menjual rumah secara illegal dan membeli rumah illegal pula, sehingga dianggap sebagai penadah. Serta merta mereka semua ditetapkan sebagai tersangka pelaku kejahatan, dengan tuduhan secara bersama-sama menyerobot dan menduduki tanan dan bangunan milik orang lain.

Hukum Pertanahan dan Hukum Perkawinan

Dalam pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan: selama para pihak suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah tidak mengatur mengenai "Perjanjian Perkawinan", maka dalam perkawinan tersebut telah terjadi percampuran harta suami istri yang disebut sebagai "Harta Bersama". Segala harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 

Pengaturan mengenai harta bersama dijelaskan dalam pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan bahwa suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak. 

Dengan demikian salah satu pihak baik suami maupun istri tidak dapat mengesampingkan atau meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta tersebut, karena kedudukan mereka seimbang, yaitu sebagai pemilik harta bersama tadi.

Dalam kasus di atas, tanah yang telah dibeli oleh suami, secara serta merta menjadi harta bersama yang dimiliki oleh istri dan anak, tak peduli pada saat suami melakukan pembelian tidak mendapat persetujuan sang istri. 

Namun demikian, pada saat sang suami ingin menjual tanah tersebut dalam peraturan pertanahan, khususnya mengenai harta bersama terhadap benda tidak bergerak, yaitu tanah dan bangunan, para notaris atau pejabat pembuat akta tanah wajib meminta persetujuan pasangannya jika yang ingin menjual tanah adalah orang yang sudah menikah. 

Dan jika yang menjual tanah adalah orang yang sudah menikah, namun pasangannya sudah meninggal, maka notaris atau pejabat pembuat akta tanah wajib meminta persetujuan dari anak selaku ahli waris harta bersama tersebut. Karena harta bersama milik orang tua, akan mewaris kepada para anak dan salah satu orang tua yang masih hidup. Jika kedua orang tua sudah meninggal, maka mewaris kepada anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun