Seorang remaja, sekira usia 17 tahunan, berjualan mie instan, kopi dan sejenisnya di pinggir jalan ibukota yang berada di perkampungan padat dengan deretan 6 kios, masing-masing ukuran 20 meter persegi. Â
Kios sebanyak 6 unit tersebut ternyata miliknya, hibah dari orang tua oleh sebab sang anak enggan untuk kuliah, dan memilih jadi pedagang. Â Lima unit kios lainnya disewakan kepada orang lain, dan si anak tersebut menggunakan satu unit khusus untuk berdagang, dengan harapan usahanya bisa maju dan berkembang.Â
Jika dihitung dengan perhitungan matematis sederhana, dilihat dari ramainya penduduk yang lalu lalang, serta bagusnya daya beli masyarakat sekitar, usaha anak tersebut dapat dikategorikan pendapatannya di atas ambang batas, sehingga keuntungan sudah berada di tangan sang anak. Â Namun demikian, ternyata tidak seperti yang terlihat.Â
Usaha sang anak, justru tidak berkembang seperti yang diharapkan. Â Penyebabnya, tiada lain dari lokasi kios si anak itu sendiri. Â Sebagai penduduk asli yang lahir dan besar di kampung tersebut, si anak tumbuh dan berkembang bersama teman-teman sekampung yang seusia dirinya. Seperti lazimnya gerombolan anak-anak remaja di kampung menengah ke bawah, kendatipun berada di ibukota, maka kebiasaan berkumpul menghabiskan waktu sepanjang hari tak bisa dihindari.
Dan kebiasaan remaja kampung padat, daya juangnya tak terlalu tinggi, mungkin karena terlalu gampang mencari recehan sekedar makan, rokok dan kopi, akibatnya gaya hidup pun tak jauh dari sekedar gaya hidup recehan. Akhirnya, kebiasaan nongkrong, bertukar cerita hingga berbual-bual sepanjang hari menjadi keniscayaan. Â
Pada taraf inilah remaja kita, calon pengusaha baru tadi menjadi korban. Â Hampir setiap waktu, terutama sore menjelang senja, hingga larut malam, para remaja tak tahu diri tadi bergantian bahkan acapkali secara bersama-sama tumpah ruah berkumpul di warung sang remaja. Â
Akibat selanjutnya bisa ditebak, sang remaja terpaksa kewalahan melayani serbuan teman masa kecil hingga remajanya tersebut.  Dari sekedar minum segelas dua kopi atau teh, rokok sebungkus dua per hari, hingga yang tak segan-segan berhutang  dan entah kapan akan membayar.
Di samping, repot melayani teman, pembeli pun enggan singgah, mengingat warung sang remaja selalu dipenuhi teman-teman belianya, yang sebagian besar memiliki keusilan dan sopan santun di luar batas penalaran umat manusia. Â
Pendek kata, warung sang remaja bagaikan kata pepatah, hidup segan mati gengsi. Â Dan pada titik inilah, sang remaja memutuskan untuk menutup usahanya di kampung sendiri yang sangat dicintainya, menyewakan kios tempatnya berjualan, dan pindah ke kampung lain untuk membuka usaha serupa, karena hanya itulah kemampuannya dalam berniaga.
Merantau
Jika remaja kita tadi, memutuskan untuk memindahkan usahanya ke kampung lain, tak peduli seberapa pun dekatnya kampung tersebut, upaya sang remaja sudah dapat dikategorikan sebagai merantau. Â
Karena merantau kerap diartikan sebagai; perginya seseorang dari tempat asal di mana ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Â Memang, pada dasarnya naluri manusia adalah untuk bertahan hidup atau mencari penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kadangkala, langkah kita di kampung sendiri tak segesit jika berada di kampung orang, apalagi jika kampung orang tersebut jauh dari tempat asal kita. Â Dalam bekerja, jika di kampung sendiri mungkin kita tak akan sekeras jika berada di perantauan. Â Bukan karena apa, melainkan semata karena jika di kampung sendiri, tidak bekerja pun kita tak akan sengsara, apalagi sampai mati kelaparan. Â
Karena sejauh mata memandang isi kampung dipenuhi handai taulan, yang akan dengan cepat kaki ringan tangan bersedia membantu jika salah satu anggota kampung tertimpa kemalangan. Â Entahlah jika kampung tersebut gersang dan kering kerontang, sehingga seluruh penghuninya harus pintar-pintar dalam menyelamatkan diri masing-masing dalam menjalani hidup yang sekeras batu.
Mungkin oleh karena kegersangan kampung, yang miskin sumber daya untuk diolah mengakibatkan warganya hijrah ke tempat lain, untuk mencari kehidupan yang lebih layak ada benarnya. Â Namun alasan remaja kita untuk mencari kehidupan karena di kampungnya sendiri terkendala "gangguan" handai taulannya, juga bukan sesuatu yang asing. Â
Hidup di perantauan, terutama jika tempat merantau merupakan sumber uang, seperti ibu kota atau kota-kota besar lainnya yang geliat pertumbuhan ekonominya sedang giat-giatnya juga tidak bisa dipungkiri merupakan tantangan tersendiri, yang tak jarang sangat berat dan keras. Â Dalam artian, jika kita terpuruk tak akan ada sanak saudara atau teman yang mengulurkan bantuan, dan sebaliknya, jika kita sedang merintis atau juga sukses, juga tak akan ada orang yang membebani atau meminta bagian akan kesuksesan kita tersebut. Â Â
Hal ini sangat berbeda jika kita sedang merintis usaha di kampung halaman, atau di lokasi yang dikerumuni sanak family, yang kebetulan hidupnya juga dalam kesusahan. Â Mereka akan menjadi gangguan yang kadangkala membuat risih, misalnnya; meminjam uang, juga minta tolong menyelesaikan masalah-masalah yang bisa menguras waktu dan energi, dan lain sebagainya.
Jadi, mungkin alasan seseorang untuk merantau, bisa beraneka rupa. Â Ada yang karena kampung tempat dilahirkannya gersang dan tak ekonomis, kampung tempatnya bermukim terlalu banyak penghambat atau bisa juga jika bekerja di kampung sendiri khawatir tak akan giat bekerja. Â
Memang pada dasarnya akan lebih indah jika setiap orang bisa sukses di kampungnya sendiri, namun sejarah mencatat, hanya sebagian kecil individu yang punya kemampuan untuk bisa survive dan maju di kampungnya sendiri, sebagian besar lainnya baru akan sukses jika menjadi perantau. Â
Terlepas dari etos kerja yang dimiliki oleh perantau itu sendiri, karena konon, jika orang terdesak akan keadaan, maka segala upaya akan dilakukan semaksimal mungkin demi mempertahankan hidup. Â Jadi seorang pemalas sekalipun, jika dia dihadapkan pilih hidup dengan bekerja keras, atau mati, maka dia akan menjadi orang yang sangat rajin. Â Kecuali mungkin untuk orang depresi, dia akan pilih ketemu Penciptanya.
Tangerang, 11 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H