Mohon tunggu...
Titono Wahyudi
Titono Wahyudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tertarik tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akhlak Dalam Filsafat Pendidikan Islam

24 Desember 2024   14:46 Diperbarui: 24 Desember 2024   14:46 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti budi pekerti, kelakuan. Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu, if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thabi'ah (kelakuan, tabi'at, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama). Dalam kamus al-Munjid, khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi'at. Akhlak diartikan sebagai ilmu tata karma, ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila. Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.

Kata akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq atau khuluq, kedua-duanya dijumpai pemakaiannya dalam al-Quran Al Qolam: 4 sebagai berikut:

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS Al Qolam: 4)

Sedangkan secara terminologi, para ahli berbeda pendapat, namun memiliki kesamaan makna yaitu tentang perilaku manusia. Beberapa point dibawah ini adalah pendapat-pendapat ahli yang dihimpun oleh Yatimin Abdullah, yaitu:

  • Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.
  • Imam al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
  • Ibn Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).
  • Ahmad Amin berpendapat bahwa budi adalah suatu sifat jiwa yang tidak kelihatan. Adapun akhlak yang kelihatan itu adalah kelakuan atau muamalah. Namun perbuatan yang hanya dilakukan satu atau dua kali tidak menunjukkan akhlak
  • Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan ilmu akhlak ialah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia pada umumnya, khususnya yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang berupa pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai aplikasinya yang berupa sebuah perbuatan. Ilmu akhlak adalah bagian dari ilmu filsafat, karena membahas mengenai manusia dalam menghadapi kekuatan alam, dalam berproses secara evolusi untuk kemajuan hidupnya, serta dalam berinteraksi dengan Tuhannya sebagai kesempurnaan hidup.

Jadi, pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran. Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai norma agama. Ibnu Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari'at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlak. Setelah kita telah mengetahui penjelasan tentang pendidikan dan akhlak, maka penulis dapat mengidentifikasi pengertian pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan akhlak secara formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan akhlak manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia yang tempat mereka hidup. Pendidikan akhlak diartikan sebagia latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbupotensi tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat. Pendidikan akhlak berarti juga menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan menanamkan tanggung jawab. Sebagai landasan firman Allah:

"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab {Maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur`n.  kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". (Q.S Al Imron: 19)

Pendidikan akhlak merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengeani akhlak dan kecerdasan berpikir, baik yang bersifat formal maupun informal. Pendidikan akhlak merupakan ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk, yang menjadi ukurannya adalah akal. Akhlak juga dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk memakai akal budi, potensi pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup menjadi baik. endidikan akhlak sangat penting bagi kehidupan manusia, baik pada diri seseorang, keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan pendidikan akhlak, kehidupan manusia menjadi lebih baik dan sejahtera. Dalam dunia pendidikan, terdapat beberapa fungsi yang mengembangkan kehidupan manusia yang berpendidikan, yaitu manusia paripurna (insan kamil), yang diharapkan dan dicita-citakan.

Akhlak adalah hal ihwal tingkah laku yang melekat dalam jiwa, sehingga timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh manusia. Apabila tingkah laku itu menimbulkan perbuatan yang baik dan terpuji oleh akal dan syara, maka tingkah laku itu dinamakan akhlaq yang baik. Demikian pula sebaliknya, bila perbuatan-perbuatan yang buruk maka tingkah laku itu dinamakan akhlak yang buruk (Ilyas, 2001). Oleh karena itu, dapatlah dipahami bahwa akhlak disebut tingkah laku atau hal ihwal yang melekat kepada diri seseorang karena telah dilakukan berulang-ulang atau terus menerus. Sebagai contoh, seseorang yang jarang memberikan uangnya kemudian dia memberikan karena ada maksud tertentu, maka orang itu belum dikategorikan berakhlak dermawan karena perbuatan itu tidak melekat dalam jiwanya. Ibnu Maskawaih sebagai wakil dari filosof muslim mendefenisikan akhlak yaitu suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur yakni unsur watak naluri dan unsur lewat kebiasaan dan latihan (Amin, 1969). Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany (1979), ada beberapa prinsip dasar Islam yang berhubungan dengan falsafah akhlak yakni: Prinsip Pertama, pentingnya akhlak dalam kehidupan. Akhlak menurut Islam merupakan tingkatan setelah rukun iman dan ibadah. Akhlak mempunyai keterkaitan langsung dengan masalah muamalah, hal ini berarti bahwa akhlak sangat berperan dalam mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, baik secara perindividu maupun secara kelompok.

Akhlak merupakan implementasi dari iman dan ibadah, iman dan ibadah seeorang tidak sempurna jika tidak diaplikasikan dalam bentuk perbuatan (kebiasaan) yang baik, dengan berprisip bahwa apa yang kita lakukan berdaarkan perintah Allah dan berserah diri kepada-Nya sesuai dengan firman Allah swt dalam QS al-An'am: 162:

 

"Katakanlah, "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS Al An'am :162)

Konsep Ontologi Akhlak

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada dan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi, orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini. Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Bahtiar (2016: 132) bahwa:

"Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab "apa" yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan)."

Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Suriasumantri (1985: 5) mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada". Sementara itu Dardiri (1986: 17) mengatakan, bahwa:

"Ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada."

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka ontologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang ada, yaitu ilmu yang membahas hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Dengan demikian ontologi akhlak berarti mempertanyakan apa hakikat akhlak itu.

Untuk mengetahui hakikat akhlak setidaknya berangkat dari pengertian akhlak, dimana ada dua pendekatan untuk memahami makna akhlak, yaitu pendekatan etimologi (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab, jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang menurut bahasa diartikan: moral, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan "khalkun" yang berarti kejadian, serta erat hubungan "Khaliq" yang berarti Pencipta dan "makhluk" yang berarti yang diciptakan (Zahruddin, 2004: 1).

Sedangkan menurut pendekatan secara terminologi, beberapa ulama dan pakar pendidikan telah mengemukakan pengertiannya, diantaranya:

Ibn Miskawaih dalam Zahruddin (2004: 4), menyatakan bahwa "Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan- perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu". Pendapat lain yang cukup luas dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Ardani (2005: 29) bahwa:

"Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk."

Dari dua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa akhlak merupakan perbuatan yang timbul karena adanya dorongan dari dalam jiwa manusia secara spontan tanpa berpikir atau menimbang terlebih dahulu. Atau dengan kata lain akhlak merupakan perbuatan yang dikehendaki seseorang dan dilakukan berulang- ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Misalnya, kebiasaan lemah lembut terhadap sesama, atau sebaliknya acuh tak acuh terhadap kesusahan orang lain, dan lain sebagainya. Sebagaimana pernyataan Amin yang dikutip Zahruddin (2004: 4-5) bahwa:

Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah menimbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang- ulang sehingga mudah melakukannya, masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.

Berdasarkan beberapa pengertian akhlak tersebut di atas, maka suatu perbuatan dapat disebut akhlak jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Perbuatan tersebut berasal dari dorongan jiwa dan bukan dari paksaan orang lain
  • Perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan hampir menjadi kebiasaan
  • Perbuatan tersebut timbul dengan sendirinya secara spontan, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Dengan demikian akhlak menunjukkan kondisi jiwa yang menimbulkan perbuatan atau perilaku secara spontan. Seseorang dikatakan berakhlak penolong, ketika dihadapkan kepada orang yang sedang dirundung kesulitan, secara spontan akan memberikan pertolongan tanpa banyak memperhatikan atau memikirkan untung-rugi, atau ketika seseorang sedang berjalan tiba-tiba tersandung batu, maka kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan akhlaknya. Jadi akhlak menunjukkan pada hubungan sikap batin dan perilaku secara konsisten.

Epistemologi Akhlak

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Dengan demikian epistemologi secara etimologi adalah teori ilmu pengetahuan (Mustansyir & Munir, 2013: 16). Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah "apakah ada itu?", sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah "apa yang dapat saya ketahui?".

Epistemologi akhlak merupakan kajian terhadap bagaimana akhlak itu bisa diperoleh dan diajarkan kepada orang lain. Berbicara tentang pemerolehan akhlak maka tidak terlepas dari teori kesadaran nilai, karena akhlak adalah bagian dari pada nilai yang termasuk ke dalam nilai etik. Mengutip pendapat Mulyana (2011: 42) bahwa nilai sering diselidiki dari cara perolehannya dan melalui dinamika kesadaran nilai pada diri manusia.

Aksiologi Akhlak

Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah "Teori tentang nilai" (Salam, 1997: 168). Senada dengan itu, Suriasumantri (2000: 234) mengatakan aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Berbicara tentang nilai maka ada beberapa pengertian yang bisa dipahami, sebagai berikut:

Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai "harga "yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung rugi. Bagi orang yang berakhlak baik, berbuat baik adalah satu ekpresi, bukan transaksi, oleh karena itu perbuatan baiknya mengalir begitu saja tanpa harus mempertimbangkan untung rugi. Yang dimaksud dengan perbuatan adalah kegiatan fisik atau mental yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan. Perbuatan bisa berujud aktifitas gerak, bisa juga berwujud diam tanpa gerak. Tidak berbuat dan tidak berkatakata yang dilakukan secara sengaja adalah suatu perbuatan yang bernilai akhlak. Oleh karena itu, bagi orang yang berakhlak, perkataannya, perbuatannnya dan diamnya diukur secara cermat, kapan harus berkata dan kapan harus diam, kapan harus bertindak dan kapan harus berdiam diri. Akhlak mengandung dimensi vertikal, horizontal dan internal, oleh karena itu kemanfaatan hidup berakhlak dirasakan oleh masyarakat dan oleh orang yang bersangkutan.

Di antara manfaat hidup berakhlak bagi individu yang berakhlak adalah: Dapat menikmati ketenangan hidup. Ketenangan dalam hidup diperoleh oleh orang yang tidak memiliki konflik batin, konflik interest. Konflik batin timbul disebabkan oleh ketidak mampuan seseorang berakrab-akrab dengan diri sendiri, dengan kemampuan diri sendiri, dengan apa yang telah dimiliki. Pusat perhatian orang berakhlak ialah pada bagaimana menjadikan dirinya bermakna, bermakna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa serta kemanusiaan sesuai dengan nilai yang diajarkan oleh Allah Sang Pencipta. Dari segi ini orang yang berakhlak selalu bekerja keras tak kenal lelah untuk orang lain, yang dampaknya pulang kepada diri sendiri, yaitu tidak hirau terhadap kesulitan pribadinya. Secara internal orang berakhlak selalu mensyukuri nikmat Allah kepada dirinya sehingga ia merasa telah diberi banyak dan banyak memiliki. Dari itu ia selalu berfikir untuk memberi dan sama sekali tidak berfikir untuk menguasai apa yang telah dimiliki orang lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun