Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Potret Gusuran: Mengkaji Bunga dan Tembok Wiji Thukul

26 Juni 2020   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2020   14:15 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melipir kembali ke pulau Jawa, Suhdin, salah satu petani di Badega, Garut harus rela dipenjara selama tujuh bulan ketika memperjuangkan legalitas tanahnya pada tahun 1987 (baca: Merdeka.com). Realita ini merupakan contoh interpretasi bunga yang dirontokkan; rakyat yang disisihkan juga dikriminalisasi. 

 

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Rakyat kecil serupa bunga digambarkan tersisih oleh tembok yang menghalanginya tumbuh di tanah; hidup di tanah air sendiri. Perlawanan rakyat sering kali dianggap sebagai subversi, pemerintah juga tak jarang turut mendiskriminasi. Pelayanan masyarakat umumnya untuk semua, padahal kenyataan di lapangan hanya kroni yang merasakannya. 

Thukul bukan saja mendayu-dayu meminta belas kasih lewat puisinya, diungkapkan pula olehnya perlawanan rakyat untuk pemerintah, dalam upaya mendapat keadilan -- walau nyatanya ini adalah proses panjang yang tidak bisa dilakukan sendiri. Thukul menebar benih, dengan nada harapan bahwa perjuangannya tetap tersambung di masa depan, untuk menghancurkan tindakan yang tak berasas kemanusiaan.

 

Dalam keyakinan kami
Di manapun -- tirani harus tumbang!

Sampai pada bait terakhir, puisi ini kokoh berpihak pada rakyat untuk mengambil peran dalam perjuangan. Subjek lirik yang diwakilkan oleh bunga, mengandung lirih rakyat kecil di masa itu. 

Secara umum, Thukul membuat puisi ini dengan pilihan kata yang sederhana, hal ini memungkinkan siapa saja yang membaca, dapat mengerti maksud yang hendak disampaikan penyair. 

Benar jika dikatakan puisi adalah refleksi dari fenomena sosial, Bunga dan Tembok buktinya. Meskipun hadir dengan bahasa konotatif, puisi ini tetaplah membuktikan peristiwa-peristiwa yang memang nyata di dunia kita, yang nyata nan semu ini.  

23 Juli 1998, Wiji Thukul tidak lagi menampakkan dirinya ke ruang publik. Hingga kini ia menghilang -- kabarnya sengaja dihilangkan oleh rezim karena aktivitas seni yang dilakukannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun