Meskipun teman disabilitas tergolong minoritas di dalam masyarakat, namun saya cukup sering berinteraksi dengan teman-teman disabilitas.
Sebenarnya teman saya ini masih terbilang anak-anak, karena usia mereka sangat jauh ketimbang saya yang sudah berumur kepala tiga ini.
Tapi meskipun masih anak-anak, mereka adalah teman saya. Teman berinteraksi, teman main dan teman berbagi cerita. Begitu cerita saya lima tahun yang lalu.
Lima tahun tahun yang lalu, saya sempat bekerja dekat dengan teman-teman disabilitas dengan berbagai macam keistimewaan. Mulai down syndrome hingga cerebral palsy.
Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, teman-teman disabilitas yang saya temui luar biasa. Bagaimana mereka bisa "hidup" di era seperti sekarang.
Hidup yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar menjalani aktifitas tapi bagaimana mereka berinteraksi dengan sekitar, tertawa bahagia bersama orang terdekatnya.
Kita yang merasa hidup sebagai manusia normal, seringnya terlalu berinteraksi dengan diri kita sendiri alias sibuk sendiri tanpa tahu di sekitar kita ada orang.
Begitu juga, kita jarang berbagi tawa bahagia bersama orang terdekat kita. Kita kadang memilih bahagia bersama orang yang tidak ada di dekat kita.
Selain itu, saking luar biasanya, teman-teman down syndrome memiliki keingintahuan akan pengetahuan yang begitu besar. Seperti halnya, setiap kali saya pegang kamera, mereka ingin ikutan motret.
Saya tidak terganggu, malah senang mengajari teman-teman saya itu. Gak jarang mereka ajak saya foto selfie. Mereka selalu senyum dan tertawa, sehingga sering hibur saya yang sering sedih.
Salah satu pembimbing seorang dokter di tempat itu mengatakan, anak disabilitas itu punya keahlian yang istimewa, yaitu mereka bisa rasakan siapa orang yang tulus hatinya.
Apakah orang itu hanya kasihan kepadanya, beneran ingin menjadi temannya atau malah memandang rendah dirinya. Mereka otomatis akan menyadari hal tersebut.
Sebagai pribadi yang memang suka bermain bersama anak kecil, saya cukup dengan mudah dekat dengan teman-teman saya ini. Otomatis tidak ada hambatan komunikasi dengan mereka.
Salah satu pengalaman yang selalu saya ingat, salah satu teman saya cerebral palsy atau yang biasa disebut dengan CP. Mereka mengalami keterbatasan gerak.
Dari sana, saya mengenal CP terbagi menjadi empat, yaitu spastic (paling umum), dyskinetik, ataksik dan campuran.
Nah, salah satu teman saya adalah CP ataksik. Dia tidak bisa duduk tegap ataupun berjalan. Dia tidak memiliki keseimbangan dan koordinasi tubuh yang baik.
Dari ibunya, saya tahu jika sang anak sebenarnya umur 12 tahun namun karena CP, sang anak mengalami keterlambatan perkembangan. Sehingga seolah-seolah menjadi anak umur 2 tahun.
Dia tidak bisa bicara ataupun duduk. Dia tidak bisa bermain dengan anak seusianya. Tapi dia paham apa yang saya ucap saat saya berdialog dengannya.
"Hallo... Dani (nama samaran), gimana kabarnya hari ini. Tetep semangat belajar ya. Ibumu sayang sekali denganmu. Kamu ndak punya temen main ya di rumah, aku mau kok jadi temen mainmu," kira-kira begitu ucap saya.
Saya mengatakan hal tersebut, sambil mengajarinya bermain sambil belajar. Belajar untuk bisa menggenggam, belajar untuk menyentuh barang dan belajar merespon.
Ternyata, hal yang membuat saya senang sekaligus sedih, Dani merespon ucapan saya dengan baik. Bahkan dia terlihat meneteskan mata.
Menurut dokter pembimbing di sana, meski memiliki keterbatasan, teman-teman disabilitas punya rasa kepekaan yang tinggi. Mereka akan memilih teman yang memang sesuai dengan mereka.
Mendapat jawaban itu, saya menjadi terharu sekaligus senang. Karena saya merasa menjadi pribadi yang berguna untuk orang lain.
Intinya, teman-teman disabilitas tidak butuh merasa dikasihani melainkan butuh seseorang mengerti dan mau bersama mereka. Mereka akan tahu, apakah kamu tulus atau tidak.
Mereka tidak butuh sesuatu yang mewah, hanya butuh yang mau untuk mengerti mereka. Oleh karena itu, sebaiknya kita yang merasa normal, harus bisa mendekatkan diri.
Kita mungkin memiliki beberapa hal lebih, tapi itu bukan berarti membuat kita lebih baik. Kita juga memiliki kekurangan, itu pula yang harus kita sadari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H