Menulis di Kompasiana sebenarnya sudah menjadi rutinatas saya selama hampir setahun ini. Belum setahun saya sudah 398 artikel, artinya jika dibuat rata-rata, saya sehari minimal menulis 1 artikel lebih.
Sejauh ini, target pertama saya hampir terpenuhi, yaitu minimal rata-rata pembaca 1.000 viewer. Saat ini, total pembaca semua artikel saya sekitar 391 ribu.
Saya tidak merasa berbangga diri. Jika dibandingkan dengan para Kompasianer yang lebih dulu 'nyemplung' saya masih kalah jauh secara pembaca hingga kualitas tulisan.
Meski begitu, saya tetap semangat menulis. Semakin banyak menulis, saya juga semakin banyak membaca. Dengan begitu saya semakin banyak informasi.
Namun setelah artikel terakhir tanggal 18 November, saya merasa 'tidak ada gairah lagi' untuk menulis di Kompasiana. Seminggu terakhir jadi pukulan yang cukup telak bagi saya.
Pertama, permasalahan yang terjadi di tempat kerja menjadi alasan saya kehilangan semangat untuk saya produktif dalam menulis di Kompasiana.
Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap 'feeling' untuk menulis tapi juga berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Saya serasa di titik terendah.
Selain itu, permasalahan K-Rewards dua bulan terakhir juga menjadi alasan saya. Bulan Agustus sebenarnya menjadi pelecut saya dalam menulis di K.
Pelecut itu saya konversikan melalui tulisan di bulan September. Saya melihat K-Rewards bulan Agustus yang 'wow' membuat saya semangat.
Apalagi di bulan September, ada satu artikel saya yang 'pecah rekor' bagi saya sendiri karena viewer artikel itu mencapai 30 ribu pembaca.
Artikel itu tentang Russo Brothers yang berencana tidak akan sutradarai lagi film Marvel pasca permasalahan gugatan hukum Scarlett Johansson.
Berdasarkan perolehan di bulan Agustus, total viewer sebanyak 40 ribuan bisa mendapatkan K-Rewards sekitar 1 juta. Dengan modal 30 ribu pembaca di satu artikel, saya butuh sekitar 10 ribu lagi.
Pada akhir bulan September, saya senang, target 40 ribu itu terpenuhi. Bahkan lebih dari target. Sayangnya memasuki bulan Oktober tidak kunjung ada kabar tentang K-Rewards.
Hingga akhirnya jelang akhir bulan, pengumuman K-Rewards bagai terkena puting beliung. Saya 'mobat mabit' bingung terkait hasil perolehan rewards bulan September.
Saya mendapatkan rewards jauh dari ekspektasi saya, hanya sekitar 200 ribuan saja. Meskipun ini membuat saya kaget tapi saya mencoba meredam dan tenang.
Pada akhirnya berpengaruh pada produktif saya bulan Oktober. Jumlah artikel saya tidak sebanyak bulan September, otomatis viewer pun juga sangat jauh. Sekitar 18 ribu viewer.
Ya meskipun sejak awal saya sudah bersepakat dengan salah satu senior K yang mengajak saya nyemplung di sini, jika K-Rewards tidak bisa diprediksi berapapun nilainya harus disyukuri.
Dengan jumlah 18 ribu viewer, saya mendapatkan hadiah tidak sampai genap 100ribu. Ini lebih membuat saya kaget, karena saya pernah berada di "jumlah viewer" tersebut dan hasilnya lumayan banyak.
Cukup untuk sedikit simpanan, jajan si kecil dan ajak jalan-jalan keluarga kecil. Bagi kami, itu sudah jadi hal yang menyenangkan.
Secara jujur, saya menganggap K-Rewards itu sebagai upah tambahan dan sampingan saya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi si kecil sudah mulai bisa minta dibelikan jajan.
Jajan favoritnya adalah kentang goreng. Gak harus kentang goreng makanan cepat saji, kentang goreng pinggir jalan yang murah saja dia sudah senang.
Tapi bukan itu yang saya permasalahkan. Saya iseng mencoba melihat para penerima rewards lainnya. Ternyata saya menemukan jika ada Kompasianer lain yang mempunyai jumlah viewer hampir sama.
Bedanya, ada salah satu artikel viewer hingga belasan ribu yang merupakan artikel topil. Sedangkan saya, total semua artikel dan jang menulis topil.
Sebagai catatan dan perlu digarisbawahi, saya tidak ada maksud menyerang Kompasianer lain. Hanya ingin mencurahkan uneg - uneg untuk admin K saja.
Lalu di tengah semangat menulis yang runtuh karena masalah pekerjaan, saya juga kehilangan semangat karena meski saya memiliki sebanyak apapun viewer jika tidak menulis topil ya tidak akan mengangkat rewards.
Bulan ini sebenarnya saya cukup senang dengan hasil menulis saya, karena banyak artikel saya memiliki viewer ribuan dan belasan ribu.
Saya sendiri senang menulis terkait film Marvel, sosial media, viral dan kekinian. Jarang sekali topil yang saya tulis, karena saya tidak memahami konteks permasalahan.
Bulan ini, jika merujuk pada viewer yang tertampil di Kompasiana, saya melakukan penghitungan manual. Total saya mendapatkan viewer 71 ribu.
Ini menyenangkan bagi saya sebenarnya, karena letak kepuasan penulis online ya seberapa banyak viewer yang membaca. Ini juga tanda bahwa misi saya cukup berhasil, artikel saya sebagai rujukan terkait Marvel.
Untuk mendapatkan viewer tersebut, saya melakukan secara organik tidak pakai ads ataupun mesin aneh-aneh. Duit darimana pakai begituan.
Entah benar atau tidak, saya melakukan analisa dan cukup berhasil. Sebagai Social Media Specialist saya menggunakan kemampuan saya dalam "mempraktekkan" kemampuan bersosial media.
Pertama, saya melakukan analisa di sosial media Kompasiana baik itu facebook atau twitter.Â
Mulai dari jeda antara kapan saya menerbitkan artikel hingga artikel saya diposting oleh Kompasiana di akunnya, hingga menentukan jam posting terbaik.
Selain itu, pola posting admin Kompasiana di sosial media saya amati betul. Ada keuntungan bagi artikel jika menjadi artikel terpopuler, headline dan tren.
Artikel-artikel itu akan diposting ulang oleh admin K. Bagi saya, ini keuntungan dan saya harus manfaatkan.
Caranya, saya membagikan tulisan saya di berbagai grup fanpage facebook fans Marvel. Jika teman-teman sudah mencoba tapi tidak rame, mungkin ada yang salah dengan cara teman-teman grab audience.
Kembali lagi, pengalaman sebagai Social Media Specialist memberikan saya keuntungan. Saya tahu kapan waktu yang pas untuk saya harus membagikan ke fanpage facebook.
Selain itu, kalimat caption sangat krusial agar artikel saya dibaca banyak orang. Ketika artikel itu menundang orang berkomentar, sedikit banyak berpengaruh pada viewer artikel.
Setidaknya cukup masuk terpopuler saja itu sudah cukup membantu. Jika sudah masuk, akun Kompasiana akan memposting ulang dengan label hastag terpopuler.
Jika masuk menjadi headline, akun Kompasiana memposting ulang lagi dengan tagar #Headline. Begitu juga dengan tren pekan ini.
Meski ada kemungkinan diposting di hari berikutnya, itu tidak masalah toh yang diperhitungkan oleh K adalah total selama sebulan.
Tapi sayangnya sejak ada perubahan sistem penghitungan oleh K, saya merasa useless alias 'percuma'. Ya meskipun nulis sebanyak mungkin, atau pembaca sebanyak mungkin tidak akan mendapatkan banyak reward.
Ya padahal ramenya Kompasiana banyak visitor juga karena artikel - artikel dengan pembaca terbanyak. Semakin banyak pembaca semakin banyak keuntungan untuk Kompasiana.
Sedangkan artikel dengan pembaca terbanyak tidak memandang apakah itu artikel topik pilihan atau tidak.
Lah kalau sudah begitu, penulis seperti saya yang jarang nulis topil juga sedikit banyak turut berkontribusi menyumbang visitor untuk Kompasiana.
Lalu, apakah yang diperhitungkan lebih topik pilihan saja yang berkali-kali lipat? Apakah cukup adil ketika Kompasianer sama-sama  mempunyai viewer banyak tapi dapatnya beda hanya karena topil?
Ya saya tahu, saya hanya 'nunut' nulis di K. Ibarat tinggal di kos, yang punya rumah yang berkuasa atas peraturan rumahnya. Tapi setidaknya di K saya bisa menyampaikan uneg-uneg saya.
Saya berharap admin K bisa mempertimbangkan kembali terkait sistem penghitungan 'upah' ini. Jika tidak, ya saya bisa apa?
Saya sedikit teringat dengan salah satu mantan pimred media besar yang juga sempat nulis di Kompasiana.
Beliau menyampaikan, "Kompasiana seharusnya bisa menghargai jerih payah seseorang. Nulis banyak tapi dapatnya cuma seberapa".
Semoga uneg-uneg saya bisa terdengar oleh admin K dan bisa menggoyahkan hati K yang katanya para senior adalah hati yang keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H