Sedangkan menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja Listya Paramita, penonton usia dewasa pun juga mendapatkan resiko beragam usai menonton video kekerasan tersebut.
Terpengaruh atau tidaknya penonton usia 17 tahun ke atas dengan adegan film tergantung dengan masalah mental yang sedang dialami oleh orang tersebut.
Gangguan kecemasan bisa timbul akibat masalah pada fungsi otak yang mengatur rasa takut dan emosi. Orang dengan gangguan kecemasan bisa merasa sangat khawatir atau takut terhadap berbagai hal.
Sehingga, hal ini bisa mengganggu atau bahkan menggagalkan aktivitas sehari-hari. Inilah yang membuat sebagian orang akhirnya 'trauma' setelah menonton sejumlah genre film.
Contohnya saja, seperti takut untuk melakukan sesuatu, takut untuk pergi sendiri, hingga membayangkan hal-hal 'menakutkan' yang sebenarnya tidak terjadi.
Meski ini semua hanya settingan efek CGI aataupun efek lainnya, namun adegan ini cukup realistik mirip kenyatan. Contohnya saja saat peserta jatuh dari ketinggian, salah satu gambar menampilkan 'kepala pecah'.
Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan saat kita menonton video pemenggalan kepala ISIS atau penembakan yang terjadi di Selandia Baru sekitar 2 tahun lalu.
Tidak jauh berbeda dengan Listya, Stephanie A. Sarkis spesialis klinis konseling anak dan remaja di laman berita Tirto menjelaskan berbagai dampak yang ditimbulkan untuk orang dewasa yang menonton video kekerasan tersebut.
Menurutnya, video kekerasan seperti tayangan penembakan massal atau peristiwa sadis lainnya dapat membuat orang yang menonton rentan terserang depresi, kecemasan, dan PTSD, apalagi ketika video tersebut terus membanjiri layar gawai.
Bila video kekerasan diterima oleh orang-orang yang pernah mengalami trauma sebelumnya, perasaan itu bisa muncul kembali. Tentu hal ini tidak baik untuk kesehatan mental.
Sebenarnya, bukan kali ini saja serial atau film kekerasan menjadi ramai ditonton banyak orang. Sebelumnya ada film Joker, John Wick serta The Hunger Games yang memiliki tipe yang sama dengan Squid Game.