Mungkin anak saya merupakan anak penurut dan lebih banyak diam serta mengalah. Tapi bagaimana dengan anak lain, yang belum tentu straight seperti saya ajarkan anak tentang prokes.
Ini bukan menuduh atau saling tunjuk, tetapi di masa pandemi ini segala hal begitu sangat was-was. Terlebih tidak semua anak kecil betah pakai masker atau sering cuci tangan.
Jangankan anak kecil, yang sudah dewasa saja sering lepas masker dan gak mau sadar protokol kesehatan. Gimana kita ajarkan ke anak cucu kita kalau begitu?
Ketiga, si kecil juga butuh sosok guru yang serius mengajarkan pelajaran. Selama ini, istri saya selalu rutin dan sabar mengajari si kecil banyak hal.
Mulai menggambar, berhitung, mengenal huruf hingga mengaji. Saya pun juga ikut dalam pengajaran bagi si kecil, termasuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh.
Karena kedua orangtuanya sering berinteraksi dengan dia, si kecil merasa "meremehkan" karena anggapan teman main masih melekat diingatannya.
Gimana gak melekat, jika setiap dia bermain selalu ada orangtuanya. Ke manapun dia pergi ada orangtuanya. Dia menganggap orangtuanya bukan sebagai guru.
Sebenarnya ingin sekali agak sedikit keras kepadanya. Hanya saja, saya teringat masa lalu ketika saya menjadi anak yang tertekan. Menjadi anak yang serba salah.
Sedangkan kalau belajar online, dia susah untuk diatur. Baginya, sama saja seperti sedang ngobrol dengan saudara atau keluarga jauh yang lain.
Sejak awal pandemi, jarang sekali bertemu saudara ataupun keluarga jauh. Biasanya mengobrol hanya via telepon atau video call. Si kecil akhirnya juga sudah terbiasa.
Karena sudah terbiasa itu lah, dia tidak menganggap sekolahnya serius. Dalam pikirannya dia tidak 'sekolah' tapi hanya sekadar menelepon seseorang saja.