Dilansir dari akun twitter Kisah Tanah Jawa, kisah "tumbal proyek" ini terjadi pada tahun 1914-1915 saat Perusahaan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen) membangun jalur kereta api antara Cirebon - Kroya.
Dibangunnya jalur baru itu bertujuan untuk mempersingkat perjalanan kereta api dari jalur selatan menuju kota Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan kolonial.
Pembangunan jalur ini adalah yang tersulit, dikarenakan kondisi geografis yang cukup berat dan beresiko. Karena melewati beberapa perbukitan di daerah Notog serta lebar dan dalamnya sungai Serayu.
Pembangunan jalur ini cukup banyak menelan korban jiwa, karena dijalankan dengan sistem kerja paksa. Hal tersebut dibuktikan dengan terdapatnya makam tua di bukit diatas perlintasan kereta api di daerah Notog, yang merupakan makam dari pekerja paksa.
Menurut informasi warga sekitar, di salah satu pilar jembatan kereta api kali Serayu diyakini pernah ditanam satu grup Lengger (tayub) sebagai tumbal pembangunan jembatan.
Katanya, saat dulu proses pembangunan pondasi jembatan mengalami banyak kendala. Salah satu masalnya adalah struktur dasar pondasi pilar (jembatan) yang sering ambles karena tergerus oleh derasnya air sungai.Â
Karena mengalami kebuntuan, akhirnya pihak Staatsspoorwegen mencoba mencari solusi kepada paranormal setempat. Hasil komunikasi dengan penguasa ghaib Sungai Serayu bernama Dewi Ayu Wuri Agung, menginginkan tumbal satu grup tayub lengger Banyumasan lengkap dengan perangkat gamelan.
Akhirnya dicarikan grup Lengger yang di ambil dari wilayah Banyumasan oleh centeng suruhan pihak Staatsspoorwegen, dengan dalih untuk "selametan" sekalian menghibur para pekerja pembuat jembatan.
Pihak grup Lengger pun menyanggupi, malah mereka dibayar 3 kali lipat dari biasanya dan dibayar didepan. Jelang senja, obor-obor mulai dinyalakan.
Sekitar pukul 21:00 para pemain lengger mulai turun menuju dasar konstruksi setelah sebelumnya mereka menaruh peralatan gamelan dibawah. Gamelan mulai ditabuh, 2 orang penari cantik yang berusia 19 tahunan mulai menari di iringi alunan musik.Â
Para pekerja dan beberapa meener Belanda melihat pertunjukan tersebut dari atas lubang besar yang akan dijadikan dasar pondasi. Para pekerja sebenarnya sudah paham akan terjadi pembunuhan massal terencana.