Ketika dulu sebelum menikah, saya mengakui jika saya sempat berpikir apakah bisa saya menjadi ayah yang baik bagi anak saya. Mengingat saya pribadi yang terkadang masih seperti anak kecil, suka bermain-main.
Terlebih, saya juga adalah orang yang memiliki "kehidupannya" sendiri. Mulai dari senangnya baca komik, menghabiskan waktu hanya untuk sekadar nonton film atau hal-hal yang menurut sebagian orang adalah kebiasaan anak-anak.
Seiring berjalannya waktu, saya menikah dan bersyukur langsung dikaruniai seorang anak perempuan. Keraguan kembali muncul saat tiga tahun lalu anak saya lahir, apakah saya benar-benar bisa menjadi ayah yang baik.
Terlebih, waktu istri hamil, saya berharap saya memiliki seorang anak berjenis kelamin laki-laki. Ketika jelang melahirkan, Allah memberikan saya titipan seorang anak perempuan yang sangat lucu.
Istri saya sempat khawatir, saya tidak akan sayang dengan anak perempuan saya. Namun, usai lahir, di hari pertama anak saya muncul di dunia ini, saya tidak berhenti menatap wajahnya. Tanpa berkata apa-apa.
Waktu berlalu, apa yang dikhawatirkan istri tidak terbukti. Saya sangat menyayangi anak perempuan saya. Sejak pertama kali dia lahir, setiap malam, saya selalu menyanyikan lagu tidur sambil menggendongnya.
Meski saya bukan penyanyi, saya juga menyadari suara saya tidak merdu, tapi si kecil sangat menikmati suara saya. Dia selalu tertidur pulas saat saya gendong sambil dinyanyikan lagu.
Padahal lagu yang saya nyanyikan terbilang random, tidak semua lagu anak-anak. Contohnya lagu kemerdekaan, lagu percintaan, bahkan gak jarang saya spontan bikin lagu dengan lirik dan nada ciptaan saya sendiri.
Gara-gara hal random yang saya lakukan ini, orang rumah heran dengan kelakuan saya. Pertama, meski suara saya gak merdu, si kecil selalu menikmati. Kedua, hanya saya yang bisa melakukan hal ini. Pernah anggota keluarga yang lain tiru tapi gak berhasil.
Entah kenapa hal ini tidak berhasil kepada anggota keluarga yang lain, termasuk dengan ibunya. Si kecil selalu ingin saya yang menggendong tidur dirinya. Sampai sekarang saya tidak tahu, mungkin karena saya berhasil masuk ke dalam dunianya.
Kedekatan sebagai ayah untuk si kecil saya curahkan dengan sepenuh hati. Meski terkadang pulang malam, saya tidak pernah melewatkan menggendong anak untuk tidur. Bahkan, saya pernah sambil menangis saat menggendong si kecil sakit.
Beranjak mulai dewasa, si kecil sudah mulai bisa berjalan. Saya ajak dia mulai ajak dia bermain, melompat dan banyak aktifitas lainnya guna menjadikannya anak yang lincah dan menggemaskan.
Ketika dia mulai bisa berbicara, saya mengenalkan diri saya dan anggota keluarga lainnya. Sederhana saja, seperti papa, mama, uti, auntie, kung, dan sebutan-sebutan keluarga lainnya.
Bersama si kecil, saya tidak pernah berdiam diri. Saya selalu berdialog dengan dia. Lambat laun, hubungan kami sudah terjalin. Dia mulai memahami apa maksud saya meskipun dia belum bisa mengenal "kata" yang dia maksud.
Saya pun juga mulai memahami meski dia tidak bisa menyampaikan maksud isi hatinya. Bahkan, ketika ucapannya belum sejelas sekarang, saya tahu apa yang dia maksud.
Tidak hanya itu saja yang saya ajarkan untuk si kecil. Saya ajak dia berimajinasi. Saya beli boneka tangan berbentuk kelinci berwarna pink. Tangan saya masukkan lalu menggerakkannya. Kelinci itu kemudian "hidup" masuk ke dunianya.
Dia senang dengan boneka tangan itu. Bahkan beberapa hari saya bermain boneka tangan, dia mulai menganggapnya sebagai teman. Dia mengambil bonekanya berbentuk beruang, panda, kucing dan banyak boneka yang lain.
Si kecil lalu membuat dialog sendiri tanpa saya suruh, "Halo, aku Panda. Kamu siapa?". Mendengar ini, saya lalu tanggap, "Halo Panda, aku Kelinci. Panda sudah makan? Ayo makan sama Kelinci yuk!".
Dia nampak menyukai dialog antar boneka ini. Seakan-akan semua boneka yang ada di depannya hidup semua. Hingga sekarang, boneka-boneka itu masih sering dia mainkan.
Sikap ekspresifnya ini saya ajarkan sejak dia masih berumur beberapa bulan. Saya selalu ajak dia berfoto bersama. Bahkan, galeri saya penuh dengan foto si kecil dan kerjaan di kantor. Hanya dua hal ini.
Saya ajari dia berbagai macam pose, mulai duck face, senyum, menganga hingga menjulurkan lidah. Saya ajak dia bergaya, bahkan bisa dibilang saya yang pertama kali mengenalkan dia dengan device smartphone.
Mulai mengenalkan dia hewan-hewan, film superhero, kartun, hingga filter instagram yang selalu menarik bagi dirinya. Si kecil senang dengan filter ulang tahun dan filter yang bisa membuat pipi gendut karena makan biskuit.
Meski ekspresif, si kecil belum bisa diajari menyampaikan pendapat kalau lapar, kebelet pipis atau poop. Saya pun punya ide, saya ajak dia bermain game smartphone yang berjudul Tom si kucing.
Aplikasi ini mengajarkan kapan si Tom makan, tidur, bermain, mandi, pipis ataupun poop. Dengan aplikasi ini saya ajarkan si kecil hal yang sama. Agak aneh memang, tapi nyatanya berhasil.
Sekarang, setelah tiga tahun berlalu, si kecil begitu cerdas. Dia hapal lagu-lagu yang dia dengarkan sebelumnya, meski lagu itu berbahasa inggris. Malah, dia tidak mengenal warna "putih", yang dia tahu adalah "white".
Begitu juga dengan berhitung, dia awalnya hanya tahu angka dalam bahasa inggris. Butuh proses yang agak rumit agar dia juga mengenal angka dalam bahasa indonesia.
Dia sangat senang menyanyi sambil menari, sama seperti yang saya kenalkan saat dulu menggendongnya. Dia menikmati menyanyi, menari dan bermain, semua dia lakukan dalam kegiatan yang sama.
Saking aktifnya, hampir seharian dia tidak mengenal lelah. Selalu ramai tidak pernah berhenti untuk mengoceh dan bergerak. Selalu ada saja yang dinyanyikan ataupun yang dilakukannya. Sama seperti yang saya lakukan dulu saat dia baru lahir.
Tidak hanya itu, dunia boneka juga menjadi bagian dari kegiatan sehari-harinya. Bahkan sering kali saat tidur, boneka-bonekanya diajaknya tidur bersama dan tidak boleh untuk diganggu. Dunia imajinasi, sama seperti yang saya ajarkan dulu.
Si kecil juga kini dalam tahap lepas popok. Dia sudah mulai bisa menyampaikan pendapat jika lapar, haus, kebelet pipis atau ingin poop. Sama seperti yang saat saya mengenalkan mainan Tom.
Belajar dari bapak, buku dan film, saya mencoba menjadi versi ayah yang terbaik untuk anak saya. Mungkin ayah versi saya bukan yang terbaik. Tetapi, saya selalu belajar dari kesalahan dan pengalaman hidup membuat saya menjadi "The Best of Me".
Saya tahu, mungkin banyak pertentangan tentang pengajaran ilmu "kehidupan" dari saya kepada anak. Meski begitu, saya bangga dengan anak saya yang begitu cerdas, walau dalam kehidupannya menemukan banyak kendala.
Si kecil selalu menemukan ide-ide yang tidak terduga dalam memecahkan solusi itu. Contohnya saja, saat saya sedang menulis cerita ini, si kecil ingin melakukan hal yang sama, yaitu mengetik.
Problemnya, kursi yang biasa dia duduki sudah rusak. Terkadang, kalau diduduki, pantatnya selalu terjepit. Tapi dia menemukan ide, kursi itu dia tutup dengan celananya yang lain agar kalau terjepit bukan pantatnya melainkan celananya yang lain itu.
Selain itu, saya pernah mendapatkan momen sedih tapi bangga adalah saat dia meminta saya istirahat tidak melanjutkan kerja mengetik di rumah. Awalnya saya sempat jengkel dan terpikir untuk memarahinya.
Namun emosi saya berubah saat dia berkata sambil menangis memaksa saya, "Aku kerja, ketik-ketik. Papa capek, papa bubuk". Seketika, saya meneteskan air mata, anak saya sudah besar. Dia tumbuh memiliki rasa empati.
Meski satu setengah tahun kehidupannya banyak di rumah karena masa pandemi, si kecil tetap aktif dan gak kehilangan semangat. Hanya saja bapaknya yang selalu kepikiran tentang kehidupan sosialnya.
Mungkin ketika pandemi ini selesai, PR saya untuk si kecil adalah bersosialisasi kembali dengan teman sebayanya tanpa jaga jarak, bisa saling bertukar mainan dan bermain bersama tanpa terpikir tertular penyakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H