Mohon tunggu...
Tito Adam
Tito Adam Mohon Tunggu... Jurnalis - Social Media Specialist | Penulis | Fotografer | Editor Video | Copy Writer | Content Writer | Former Journalist

Senang untuk belajar dan belajar untuk senang | Instagram @titoadamp | Email titoadamp@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Surabaya sebagai Kota Perdagangan Kolonial lewat Jembatan Petekan

22 Mei 2021   18:25 Diperbarui: 22 Mei 2021   18:38 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemabatan Petekan tempo dulu. Sumber : pinterest.ca/SKETCHER61

Surabaya punya banyak sebutan, mulai Kota Pahlawan hingga Kota Metropolis. Namun, pada zaman kolonial, Surabaya pernah dikenal sebagai Kota Perdagangan melalui jalur air.

Bekerja empat tahun bersama Bu Risma, membuat saya selalu teringat apa yang selalu disampaikannya. Salah satunya Surabaya itu berada di 5 meter di atas permukaan laut alias mdpl.

Jadi jelas saja, kalau Surabaya ini gak jauh beda dengan kota-kota di Belanda. Di sana banyak kota yang tingginya sama ataupun di bawah mdpl.

Meskipun begitu, Belanda memanfaatkan ini sebagai keuntungan yang dimilikinya. Salah satunya membangun kanal-kanal. Otomatis Belanda pun punya banyak insinyur di bidang ini.

Kanal sendiri menurut KBBI berarti saluran. Sedangkan dilansir dari laman Grid, kanal memiliki arti saluran air buatan manusia yang dibuat untuk berbagai keperluan yang membantu kehidupan manusia.

Dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, Belanda dikenal memiliki banyak kanal termasuk juga jembatan. Mulai jembatan biasa, jembatan gantung hingga jembatan Ophaalbrug atau jembatan angkat.

Karena Indonesia pernah dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda, maka dengan sendirinya pengetahuan tentang kanal dan jembatan dibawa pula ke tanah jajahan ini.

Surabaya juga punya kanal-kanal. Di bukunya, Dukut menyampaikan, jika tempo dulu, kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlabuh di Selat Madura saja.

Karena kapal besar tidak bisa masuk ke pelabuhan, lantas untuk bongkar muat barang digunakanlah kapal lebih kecil untuk mengantarkannya ke pelabuhan.

Setelah itu, kapal - kapal kecil itu menyusuri Sungai Kalimas, hingga mencapai pelabuhan utama yang tempo dulu merupakan pelabuhan tua Surabaya. Lokasi itu merupakan jantung kota ini.

Waktu itu, Jantung Kota Surabaya namanya Heerenstraat yang sekarang dikenal sebagai Jalan Rajawali dan Kembang Jepun. 

Diantara kedua jalan ini ada jembatan yang membentang dan disebut sebagai Jembatan Roode Brug atau Jembatan Merah. Kala itu, Pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kalaupun ada ya ecek-ecek, lokasinya di Jembatan Merah itu.

Daerah sepanjang Kalimas dibagi menjadi dua, Westerkade Kalimas dan Oosterkade Kalimas. Namun, warga Indonesia sulit mengucapkan dan lebih memilih Kulon Kali dan Wetan Kali.

Wetan Kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari Kembang Jepun, Kapasan, Pegirian, dsb. Sedangkan Kulon kali daerah di Heerenstraat, Kalisosok, dan sekitar Wester Buitenweg (sekarang kawasan perak barat).

Meskipun antar wilayah bisa melalui jembatan penghubung Heerenstraat dan Kembang Jepun, namun bagi warga yang tinggal di wilayah utara harus memutar jauh lebih dahulu.

Contohnya, wilayah Pegirian mau menyebrang ke kulon kali, maka harus putar dulu ke selatan. Tidak efisien secara manajemen waktu, apalagi dalam hal perekonomian ini bisa menghemat waktu yang berarti menghemat uang.

Oleh karena itu, dibuatlah jembatan tandingan. Jembatan itu harus lah fleksibel dibongkar pasang. Di Amsterdam, insinyur Belanda sudah biasa sudah biasa membuat ophaalbrug atau jembatan angkat yang membentang di atas kanal-kanal yang ada di sana.

Di Surabaya, sudah ada kontraktor yang mampu membuat jembatan angkat seperti itu, namanya N.V. Bratt and Co. (70 tahun kemudian nama perusahaan ini berubah menjadi PT Barata Metalworks & Engineering, pabriknya di Ngagel).

Dilansir dari Surabay Pagi, jembatan ini mulai dibangun pada tahun 1900 dan mulai beroperasi pertama kali pada 16 Desember 1939. 

Pembangunan jembatan berukuran 150 meter ini menelan biaya 133.100 gulen Belanda atau setara dengan Rp 1.075.913.850, dengan acuan 1 gulden Belanda sebesar Rp 8.083,53.

Jembatan ini lalu diberi nama Ferwerda Brug. Alasan pemberian nama ini karena diambil dari nama seorang panglima perang angkatan laut Hindia Belanda yakni Admiraal Ferwerda.

Sejak ophaalbrug itu dibangun, maka lalin antara Kulon Kali dan Wetan Kali pun menjadi lancar. Arus perdagangan pun juga menjadi semakin lancar.

Seiring berjalannya waktu pun, gedung loji, rumah bandar dan kantor dagang tumbuh menjamur di Wetan dan Kulon Kali

Dengan bertambahnya waktu, kawasan ini pun menjadi semakin macet. Ini dikarenakan setiap ada kapal yang lewat, jembatan akan terangkat, membuat kendaraan harus menunggu lama.

Kereta lewat dengan gerbong panjang saja sudah mengomel apalagi kapal jaman dahulu yang tidak bisa cepat. Jelas akan butuh waktu lama, kemacetan kendaraan jelas terjadi.

Saat terangkat, jembatan ini berbunyi “kloneng…. Kloneng atau sirine yang memekakkan telinga, “grong…. Grong” yang menandakan kapal akan lewat, memberi tanda kendaraan untuk berhenti.

Karena lidah jawa susah menyebut kata Ophaalbrug atau Ferwerda Brug, maka diambillah kata “petekan” yang artinya dalam bahasa Jawa adalah ditekan. Seakan menegaskan kalau tombol ditekan, jembatan ini naik turun.

Selain itu, jalan di sekitar jembatan pun diberikan nama Jalan Petekan agar mempermudah penyebutan dan gampang untuk diingat.

Dilansir dari laman Liputan 6, jembatan ini dijadikan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya 188.45/004/402.1.04/1998 nomor urut 47 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Tahun 2008. 

Jembatan Petekan dioperasikan menggunakan mesin yang terletak di dalam kedua tiang yang berukuran tebal. Mesin tersebut mempunyai dua roda gigi yang melekat pada tiang. 

Dua roda gigi tersebut menggerakkan dua tuas yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan jembatan konstruksi.

Namun Jembatan Petekan itu kini tidak digunakan lagi. Di kanan dan kiri sudah dibangun jembatan yang baru. Tidak bisa terangkat seperti Jembatan Petekan.

Ini juga dikarenakan kapal sudah tidak lagi masuk ke tengah kota seperti tempo dulu di Jembatan Merah. Kini kapal berhenti di Pelabuhan Tanjung Perak, lebih ke utara lagi.

Meski begitu, Jembatan Petekan itu kini masih bisa dilihat bentuknya. Sisa dari kejayaan perekonomian dan perdagangan Surabaya tempo dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun