Sejak ophaalbrug itu dibangun, maka lalin antara Kulon Kali dan Wetan Kali pun menjadi lancar. Arus perdagangan pun juga menjadi semakin lancar.
Seiring berjalannya waktu pun, gedung loji, rumah bandar dan kantor dagang tumbuh menjamur di Wetan dan Kulon Kali
Dengan bertambahnya waktu, kawasan ini pun menjadi semakin macet. Ini dikarenakan setiap ada kapal yang lewat, jembatan akan terangkat, membuat kendaraan harus menunggu lama.
Kereta lewat dengan gerbong panjang saja sudah mengomel apalagi kapal jaman dahulu yang tidak bisa cepat. Jelas akan butuh waktu lama, kemacetan kendaraan jelas terjadi.
Saat terangkat, jembatan ini berbunyi “kloneng…. Kloneng atau sirine yang memekakkan telinga, “grong…. Grong” yang menandakan kapal akan lewat, memberi tanda kendaraan untuk berhenti.
Karena lidah jawa susah menyebut kata Ophaalbrug atau Ferwerda Brug, maka diambillah kata “petekan” yang artinya dalam bahasa Jawa adalah ditekan. Seakan menegaskan kalau tombol ditekan, jembatan ini naik turun.
Selain itu, jalan di sekitar jembatan pun diberikan nama Jalan Petekan agar mempermudah penyebutan dan gampang untuk diingat.
Dilansir dari laman Liputan 6, jembatan ini dijadikan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya 188.45/004/402.1.04/1998 nomor urut 47 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Tahun 2008.
Jembatan Petekan dioperasikan menggunakan mesin yang terletak di dalam kedua tiang yang berukuran tebal. Mesin tersebut mempunyai dua roda gigi yang melekat pada tiang.
Dua roda gigi tersebut menggerakkan dua tuas yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan jembatan konstruksi.
Namun Jembatan Petekan itu kini tidak digunakan lagi. Di kanan dan kiri sudah dibangun jembatan yang baru. Tidak bisa terangkat seperti Jembatan Petekan.