Waktu itu, Jantung Kota Surabaya namanya Heerenstraat yang sekarang dikenal sebagai Jalan Rajawali dan Kembang Jepun.Â
Diantara kedua jalan ini ada jembatan yang membentang dan disebut sebagai Jembatan Roode Brug atau Jembatan Merah. Kala itu, Pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kalaupun ada ya ecek-ecek, lokasinya di Jembatan Merah itu.
Daerah sepanjang Kalimas dibagi menjadi dua, Westerkade Kalimas dan Oosterkade Kalimas. Namun, warga Indonesia sulit mengucapkan dan lebih memilih Kulon Kali dan Wetan Kali.
Wetan Kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari Kembang Jepun, Kapasan, Pegirian, dsb. Sedangkan Kulon kali daerah di Heerenstraat, Kalisosok, dan sekitar Wester Buitenweg (sekarang kawasan perak barat).
Meskipun antar wilayah bisa melalui jembatan penghubung Heerenstraat dan Kembang Jepun, namun bagi warga yang tinggal di wilayah utara harus memutar jauh lebih dahulu.
Contohnya, wilayah Pegirian mau menyebrang ke kulon kali, maka harus putar dulu ke selatan. Tidak efisien secara manajemen waktu, apalagi dalam hal perekonomian ini bisa menghemat waktu yang berarti menghemat uang.
Oleh karena itu, dibuatlah jembatan tandingan. Jembatan itu harus lah fleksibel dibongkar pasang. Di Amsterdam, insinyur Belanda sudah biasa sudah biasa membuat ophaalbrug atau jembatan angkat yang membentang di atas kanal-kanal yang ada di sana.
Di Surabaya, sudah ada kontraktor yang mampu membuat jembatan angkat seperti itu, namanya N.V. Bratt and Co. (70 tahun kemudian nama perusahaan ini berubah menjadi PT Barata Metalworks & Engineering, pabriknya di Ngagel).
Dilansir dari Surabay Pagi, jembatan ini mulai dibangun pada tahun 1900 dan mulai beroperasi pertama kali pada 16 Desember 1939.Â
Pembangunan jembatan berukuran 150 meter ini menelan biaya 133.100 gulen Belanda atau setara dengan Rp 1.075.913.850, dengan acuan 1 gulden Belanda sebesar Rp 8.083,53.
Jembatan ini lalu diberi nama Ferwerda Brug. Alasan pemberian nama ini karena diambil dari nama seorang panglima perang angkatan laut Hindia Belanda yakni Admiraal Ferwerda.