Ketika menyebut nama Srimulat, semua orang pasti mengenalnya sebagai kelompok ketoprak atau ludruk yang mulai besar dari Jawa Timur, tepatnya di Surabaya.
Kelompok Srimulat bahkan tampil konsisten di eranya dengan guyonan khasnya. Mereka biasa tampil di Taman Hiburan Rakyat atau yang biasa disebut oleh THR Surabaya.
Namun, ternyata, nama Srimulat bukan hanya sekadar nama grup lawak saja. Melainkan nama seorang bangsawan yang berjuang demi yang dia idamkan.
Tinggal di Surabaya sejak lahir, saya sudah tahu nama Srimulat karena sering mampir ke THR. Entah beli barang elektronik, bolos sekolah hingga sekadar jalan-jalan.
Tapi saya baru tahu, nama Srimulat diambil dari nama seorang bangsawan. Namanya Raden Ayu Srimulat.
Saya kebetulan kemarin iseng-iseng baca buku Hikajat Surabaia Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo. Saya membaca buku ini untuk tugas kantor jelang Hari Jadi Kota Surabaya akhir bulan nanti.
Saat membaca beberapa edisi buku karya Dukut Imam Widodo, mata saya tertarik pada bagian Srimulat. Jelas, Srimulat dan sejarah Surabaya sangat erat hubungannya.
Nama pelawak besar di grup Srimulat beberapa besar dari Surabaya. Eko DJ, Tarzan, Nunung, Thukul Arwana adalah sebagian “jebolan” kelompok pelawak Srimulat.
Berdasarkan buku Dukut, ia lahir di Solo pada tahun 1950. Raden Ayu Srimulat merupakan anak dari Tumenggung Tjitrosumo-Wedhana Bekonang, kelak menjadi Bupati Anom di Klaten.
Ketika menginjak usia 4 tahun, Srimulat ditinggal ibunya wafat. Lantas bapaknya menikah lagi, tulis cerita Dukut.
Srimulat sendiri punya pendidikan cukup tinggi, karena pernah bersekolah di HIS (Hollansch Indlansch School) di Klaten. Seperti pergolakan Raden Ajeng Kartini, Raden Ayu Srimulat juga sempat dilarang oleh ibu tirinya untuk melanjutkan sekolah di MULO.
MULO sendiri kepanjangannya Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Srimulat yang ngeyel, akhirnya bisa lulus sekolah tersebut. Meski ibu tirinya tetap berpendapat, sepandai-pandainya wanita tetap berakhir di dapur. Buat apa sekolah tinggi.
Ketika Srimulat berusia 15 tahun, dia dipaksa menikah oleh orang tuanya. Setahun kemudian dia menjadi ibu, namun anaknya hanya berusia dua setengah tahun. Tak berselang lama, suaminya juga meninggal.
Dukut bercerita dalam bukunya, Srimulat lalu kabur di usianya yang masih remaja dengan membawa pakaian yang melekat di tubuhnya dan uang tiga setengah sen. Hanya itu saja bekalnya.
Ia lalu berkelana tidak tentu arah, hingga akhirnya tiba di Temanggung, Parakan. Srimulat lalu bertemu dengan Nyi Sireng seorang primadona ketoprak Mardi Oetomo. Ia pun ditawari bekerja di sana.
Srimulat pun mengiyakan tawaran itu. Untuk pertama kalinya, Srimulat seorang putri Raden Temenggung Tjitrosumo tahu tentang tari dan sinden. Bahkan dia punya bakat melawak. Singkat cerita ia pun jadi bintang panggung.
Sempat bergabung di kelompok Ketoprak Krido Tjarito, Srimulat semakin besar namanya saat berperan di kisah Djoko Tarub dan Kjai Pandanarang. Ternyata besar namanya Srimulat tidak membawa hal baik.
Kata Dukut, Srimulat seperti tidak dianggap anak oleh Tumenggung Tjitrosumo dan ibu tirinya. Mereka menganggap keturunan bangsawan kok main ketoprak. Bagi mereka itu perbuatan hina dan tidak bermatabat.
Sempat menikah lagi dan ikut suami ke Bandung, Srimulat mendirikan bisnis rumah kos. Nyatanya bisnis ini tidak bertahan lama dan bangkrut, membuatnya kembali cerai dengan suaminya.
Ia pun lalu berpindah ke Semarang dan bergabung dengan rombongan wayang orang Sri Kuntjoro. Kelompok ini sudah terbilang modern di zamannya, karena tidak hanya menyuguhkan pertunjukkan wayang orang saja tapi juga musik keroncong.
Di kelompok ini, Srimulat menjadi penyanyinya. Saat sedang gelar pertunjukkan di Bandung, Srimulat berkenalan dengan pemilik studio Studio Seni Suara Jawa Sri Suara di Radio Bandung.
Dia pun direkrut menjadi penyanyi di studio radio. Untuk kesekian kalinya nama Srimulat kembali melambung saat itu. Beberapa kali dia gonta ganti rombongan sandiwara saat di jaman penjajahan Jepang di Indonesia.
Tidak hanya sekedar seorang performer saja, Srimulat diketahui pernah galang amal dan hibur pejuang di garis depan bersama penyanyi terkenal Mardjokahar dan Miss Surip.
Bahkan sewaktu Solo diduduki Belanda, Srimulat gabung dengan Palang Merah Indonesia. Dia juga kerjasama dengan pencipta lagu Bung Prono dan Suhardjo untuk terus berkarya.
Singkat cerita, pada tahun 1950, di Solo dia mendirikan rombongan kesenian yang mempertunjukkan nyanyian dan dagelan bernama Srimulat. Meski juga bergabung dengan orkes keroncong Bunga Mawar.
Tahun 1951, Srimulat menikah lagi dengan Teguh Slamet Rahardjo, salah satu anggota gitaris orkes Bunga Mawar.
Pada Mei 1961, Srimulat memutuskan untuk memindahkan rombongan keseniannya ke THR Surabaya dan berubah nama menjadi Aneka Ria Srimulat.
Sayang pada tanggal 1 Desember 1968, Srimulat berpulang ke Sang Pencipta. Dia belum bisa melihat kejayaan kelompok seninya seperti yang kita kenal seperti sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H