Kalau ditanya, siapakah orang yang menjadi panutan saya, jawaban saya adalah Rasulullah, Umar bin Khattab dan bapak saya. Ketiga orang ini menginspirasi saya dalam banyak hal.
Bapak saya mungkin bukan siapa-siapa. Bukan pula golongan sahabat Rasulullah, tapi darinya lah saya mengenal Rasulullah dan para sahabatnya.
Di saat saya bersedih, bapak saya selalu berpesan untuk salat. Menangis dan terus merenung tidak akan menyelesaikan masalahmu. Masalah datang dari Allah, kepada Allah pula semua masalah kembali.
Hal ini lalu membuat saya tentang perjalanan isra miraj Rasulullah. Ketika di titik terendah kesedihannya, Allah mengajak nabi untuk bertemu dan memberikan perintah salat.
Saya dulu waktu kecil merupakan anak yang banyak tanya. Semua orang paling benci kalau saya banyak tanya. Tidak dengan bapak saya, dia sabar meladeni pertanyaan saya.
Tidak jarang saya bertanya tentang pertanyaan absurb. Contohnya, apakah orang yang sedang sakit dan diinfus diperbolehkan puasa. Bahkan pernah saya bertanya, jika setiap langkah diitung pahala saat menuju masjid untuk salat, bagaimana jika saya naik motor. Hitungannya bagaimana.
Terkadang bapak saya sering membuka buku-bukunya untuk menjawab pertanyaan saya. Bapak saya seorang guru, jadi dia punya banyak buku dan suka membaca. Meskipun bukan guru agama, tapi bapak saya coba menjawab sejauh yang dia tahu.
Karena semakin sering bertanya, bapak saya lalu meminta saya untuk membaca perjalanan hidup Rasulullah. Siapa tahu, jawaban-jawaban atas pertanyaan saya ada jawabannya.
Semenjak itulah, saya jadi mengidolakan panutan seluruh umat muslim di dunia. Terlebih, saat beliau meninggal, kata terakhirnya adalah umatnya. Di situ, saya semakin mengidolakannya.
Tidak hanya itu, cerita tentang bagaimana Rasulullah menyuapi wanita pengemis tua Yahudi yang buta setiap hari di pasar. Mungkin ini hal biasa, tapi bagaimana jika setiap hari itu pula wanita tua itu selalu menghina Rasulullah.
Bagaimana jika kamu berada di posisi rasul saat itu. Hal itu juga dirasakan oleh sahabat nabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat beliau menyuapi wanita tua itu, beliau mendengar si nenek yang menghina nabi saat disuapi. Namun, ada yang berbeda.
Dilansir dari website resmi NU, Ketika Nabi wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq menggantikan dan meniru persis seperti apa yang dilakukan Nabi. Yakni menyuapi perempuan Yahudi itu.
“Begitu menyuapi, tangan Abu Bakar dipegang dan kemudian ditanya, kamu siapa? Kamu bukan yang kemarin,” ungkap Kiai Mustofa.
Abu Bakar menyanggah dengan mengatakan bahwa dirinya-lah yang biasa menyuapi. Tapi perempuan Yahudi itu menjadi ragu.
“Bukan, bukan. Yang kemarin enak, lembut. Tapi sekarang kasar. Siapa kamu? Kamu bukan yang kemarin,” kata perempuan Yahudi kepada Abu Bakar dikisahkan Kiai Mustofa.
Seketika itu, Abu Bakar menangis. Perempuan Yahudi itu menanyakan kenapa Abu Bakar menangis.
“Kenapa kamu menangis ketika aku tanya siapa kamu? Abu Bakar akhirnya mengaku. Kata Abu Bakar, betul saya bukanlah yang kemarin. Saya Abu Bakar, yang kemarin Muhammad. Muhammad nabi saya,” demikian Kiai Mustofa mendialogkan percakapan Abu Bakar dengan perempuan Yahudi.
Orang Yahudi itu, lanjut Kiai Mustofa, lalu menjerit sangat keras tanda menyesal dan kemudian bersyahadat, masuk Islam.
Hal itu mengajarkan banyak hal kepada saya. Meskipun terkadang saya diejek, diperolok bahkan dihina orang lain, saya tidak akan membalas. Saya mencoba meniru Rasulullah sebisa saya.
Seiring berjalannya waktu, saya lalu bertanya ke bapak saya, lalu siapa penerus Rasulullah. Pertanyaan absurb saya yang lain.
Bapak saya menjawab, Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, tidak ada nabi lain setelahnya. Tapi beliau beritahu, jika ada khalifah setelahnya. Saya pun jadi penasaran.
Singkat cerita, saya akhirnya mengenal Umar bin Khattab. Bahkan, saat ramadan tahun lalu, salah satu televisi swasta menampilkan cerita hidup Umar. Saya tidak pernah absen untuk melewatkannya.
Bagaimana Umar seorang pribadi yang keras tapi selalu lembut ketika dengan umatnya. Bahkan dia menjadi contoh pemimpin yang patut untuk ditiru. Umar mencontohkan pemimpin yang paling dihormati, namun tetap sederhana.
Kesederhanaan yang sama, yang juga dilakukan oleh Rasulullah. Dari mereka berdua, saya pun mencoba menirunya. Saya terbiasa membeli barang saat memang butuh. Belipun selalu cari yang murah asal masih bisa dipakai.
Terpenting adalah fungsi barang itu, bermanfaat atau tidak. Bukan merk terkenal, bukan juga sesuatu glamour. Semoga kesederhanaan ini bisa terus saya lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H