Dalam keadaan sesak dan pengap seperti itu, kaca jendela di dalam kereta tidak bisa kami buka meskipun telah dipaksa sekuat tenaga. Seketika penumpang panik, terutama ibu-ibu karena tidak bisa bernapas. Disamping saya ada ibu yang mulai sesak asma karena dalam kondisi panik dan kurang oksigen. Sebagian bapak-bapak ada yang berusaha membuka pintu dengan paksa bahkan memecahkan kaca dengan paksa. Tapi seluruh usaha itu gagal.
Coba anda andaikan Pak Tri, anda berada dalam kereta, penuh sesak, pendingin mati, tidak ada kipas, pintu tidak bisa dibuka dan kaca tidak bisa dibuka. Bayangkan sulitnya anda bernapas, bayangkan bagaimana tiba-tiba anda panik karena takut sesuatu yang buruk akan terjadi kepada anda.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya kereta berjalan, sesampai di Juramangu saya hanya menyampaikan rasa sukur kepada Tuhan karena nothing worst happen. Hebatnya lagi, para penumpang "manja" ini tidak mengeluh kepada pegawai stasiun, kami semua tetap berjalan seakan normal meskipun kami baru saja mengalami kejadian mengerikan.
Berkaca kepada pengalaman itu, saya menyakini bahwa KRL ini adalah accident waiting to happen (semoga keyakinan ini tidak terbukti). Seperjalanan pulang, jadi agak miris hati mengingat kami mempercayakan nyawa kami kepada pemimpin yang bahkan tidak bisa berempati kepada kami dan menghakimi kami manja dan cengeng.
Derita rutin kami pelanggan setia KRL tetap tidak mengurangi "kadar waras" kami. Kami tidak pernah rusuh, bahkan mengeluh saja tidak dan kalaupun mengeluh semua pasti lewat jalur resmi.
Nah sekarang, anda bilang kami cengeng dan minta disuapi, ini statement anda ke tempo ""PETUNJUK PENUMPANG SUDAH DIPASANG. JANGAN TERUS DISUAPI, SEMUA SUDAH MEMAKAI SMARTPHONE"
Saya jadi miris dan sedikit tertawa ketika membaca ini. Ketahuan sekarang anda pasti tidak pernah melongok laman dan isi twitter dari KRL Jabodetabek buatan orang anda sendiri.
Di laman itu pak, kami para pelanggan setia KRL yang memakai smartphone, selalu rajin mengecek dan mengupdate status keberangkatan kereta dan keaktifan kami itu pasti cukup membantu administrator twitter tersebut. Dari kegiatan saling berbagi informasi diantara kami ini, kami jadi mengetahui "oh di Bogor ada kereta nyerempet Avanza" "oh di Serpong ada rel patah" "oh di Serpong ada gangguan signal". Update berita itu justru kami peroleh dari forum twitter dan bukan dari manajemen bapak. Jadi disuapi apa toh?
Terkait informasi jadwal keretapun, hampir di semua stasiun pak jadwal itu dipampang dalam kertas ukuran A4 dengan tulisan kecil-kecil. Kalaupun disebar ke pelanggan itu tidak gratis tapi beli. Jika saja tim bapak mau "berpikir lebih keras" mereka bisa kok majang spanduk besar dengan tulisan besar dengan hanya memampang jadwal kereta di jam sibuk. Mengapa? karena itulah yang digunakan oleh banyak orang jadi itu pasti membantu kami banget sebagai pelanggan setia.
Terus anda membandingkan dengan Singapura? itu seperti membandingkan mobil angkot Cary dengan Toyota Alphard. Di Singapura, apa iya stasiunnya kumuh seperti disini? apa iya kapasitas stasiunnya kalah dengan jumlah penumpang? apa iya pemimpinnya tega hati menghakimi pelanggan itu manja dan cengeng? apa iya kualitas dan kapasitas keretanya seperti KRL di Jakarta? Sepengetahuan saya, manajemen di Singapura jauh lebih berorientasi kepada pelanggan daripada manajemen disini.
Yang menyedihkan adalah anda menggunakan analogi ibu hamil. Coba anda diam-diam melongok ke Stasiun Dukuh Atas di pagi hari. Itu ratusan orang di saat bersamaan saling berebut menaiki eskalator yang sempit dan mati. Singkat kata, kapasitas tidak sesuai dengan jumlah. Jadi wajar gak Pak Tri kalau ibu hamil protes jika eskalatornya tidak jalan? bayangkan itu anak perempuan anda, mengerikan bukan membayangkan bagaimana ia harus berebut naik eskalator mati, digencet sana sini, menaiki eskalator yang curam, berdesakan, mengerikan bukan membayangkan nasib kandungan tercintanya?