Mendaki Anak Krakatau
Hari berikutnya dimulai lebih pagi agar bisa menyaksikan munculnya sang surya di puncak gunung Anak Krakatau. Kapal berangkat pukul 3 dini hari dari Pulau Sebesi, perjalanan pagi itu memakan waktu sampai 2 jam. Rasanya lama sekali kami berada di laut, arus begitu kuat, kapal menghadang badai. Banyak penumpang yang terserang mabuk laut, sementara saya terus berusaha memejamkan mata tanpa bergeser sedikitpun dari tempat saya merebahkan diri.
Tiba di pos penjagaan disambut oleh rintik hujan dan langit pagi yang mendung. Pupus sudah agenda menyaksikan matahari terbit. Saya menuju pos pengawasan bersama beberapa teman untuk menumpang sholat subuh dan ngobrol dengan penjaga pos. Inilah satu-satunya pos pengamatan yang berdiri di kaki gunung Anak Krakatau. Pos tersebut baru dibangun akhir tahun 2012 setelah melalui berbagai kendala terutama kebakaran hutan. Status gunung Anak Krakatau sendiri selalu waspada. Petugas begitu ketat memperingatkan setiap pengunjung apalagi saat cuaca tidak cerah seperti pagi ini.
Beberapa tahun usai letusan dahsyat gunung Krakatau pada tahun 1883, muncullah gunung Anak Krakatau yang masih aktif sampai sekarang. Cagar alam gunung Anak Krakatau yang awalnya dikelola bersama dengan Taman Nasional Ujung Kulon kini telah diserahkan ke Provinsi Lampung. Pada hari biasa, ada 8 orang penjaga yang tinggal di pos penjagaan sesuai dengan jam kerja masing-masing. Salah satu polisi hutan menjelaskan seperti apa jalan menuju puncak gunung, ketika hujan telah reda para wisatawan diperbolehkan mendaki.
Perjalanan menuju puncak gunung anak Krakatau hanya memakan waktu antara 30 – 60 menit. Tingginya sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Setelah melewati cagar alam, kita akan melihat tanjakan curam menuju puncak gunung, mendekati kawah vulkanik. Tidak ada lagi tumbuhan, hanya hamparan pasir dan batuan yang apabila dipijak bisa longsor sewaktu-waktu. Hujan perlahan turun, mendekati puncak angin bertiup kencang. Meski terlihat mudah, alam menunjukkan kebesarannya bagi manusia agar tidak sombong.
Puncak yang para wisatawan capai ini bukanlah puncak sebenarnya, pada jarak 200 meter berikutnya ada kawah vulkanik yang terlalu beresiko untuk didaki. Saya sudah bisa melihat asap vulkanik merembes keluar dari dinding gunung yang mengelilingi kawah. Ketika membalikkan badan, pemandangan yang akan didapati adalah hamparan laut yang luas dan pulau-pulau di sekelilingnya. Perjalanan ini begitu lengkap, mendaki gunung dan berenang di pantai. Usai turun gunung kami melanjutkan agenda pagi dengan sarapan dan siap menikmati alam bawah laut di sekitar gunung Anak Krakatau.
Tempat snorkeling yang ini menjadi penutup sempurna dari serangkaian perjalanan ke gunung Anak Krakatau. Terumbu karang di sekitar hutan bakau, begitu terjaga kelestariannya. Ikan yang berenang juga lebih beraneka ragam, ada ikan kerapu namun saya tidak melihat anemon laut dan ikan sejenis nemo yang selalu dicari-cari. Karena karang yang tumbuh di tempat ini termasuk dangkal maka saya harus memakai sepatu katak untuk meminimalisir cidera akibat tergores batu karang. Berenang di habitat terumbu karang yang dangkal memang lebih melelahkan, pasalnya kita harus tetap menjaga tubuh agar tetap terapung dan tidak menginjak karang.
[caption id="attachment_282424" align="aligncenter" width="300" caption="Menuju Puncak Anak Krakatau"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H