Ada orang yang lebih menyukai pendakian ke gunung daripada ke pantai, ataupun sebaliknya. Saya pribadi rasanya tidak pernah bosan dengan gunung maupun pantai. Berada di puncak gunung membuat saya merasa dekat dengan langit, sedangkan berenang di laut membuat saya mengagumi misteri yang belum terungkap secara kasat mata. Perjalanan kali ini terasa lengkap, bersama geng jalan-jalan Triple O (Off Of Office) yang bergabung dengan rombongan Backpacker Koprol menikmati keindahan pantai, laut, dan gunung. Inilah cerita saya dari perjalanan ke Gunung Anak Krakatau.
Tinggal di Pulau Sebesi
Perjalanan ditempuh dari pelabuhan Merak menyeberangi Selat Sunda ke Bakauheni kemudian menuju Darmaga Canti untuk menjangkau Pulau Sebesi, tempat kami akan tinggal di rumah penduduk asli pulau. Setiap rumah diisi maksimal 10 orang yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Saya tinggal di rumah sepasang suami istri berusia lanjut. Mereka berasal dari Cilegon yang telah lama tinggal di Pulau Sebesi. Anak-anak mereka sudah berumah tangga dan merantau ke Pulau Jawa, hanya saat Lebaran keluarganya berkumpul.
Anggota rombongan lain menginap di rumah penduduk yang tidak jauh, hanya berjarak 1 atau 2 atap. Sambil menunggu jam makan siang, saya ngobrol dengan Lia, gadis yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia menjelaskan kalau di Pulau Sebesi ini sarana pendidikan sudah lengkap, ada PAUD sampai SMA. Biasanya para remaja usai tamat sekolah ada yang melanjutkan kuliah atau bekerja di Lampung dan kota-kota besar di Pulau Jawa. Tidak perlu kaget kalau tidak bisa menemukan remaja di pulau, kebanyakan hanya tersisa anak-anak usia sekolah dan orang tua.
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah nelayan. Sektor pariwisata juga menjadi ladang mendulang uang. Ada juga yang berprofesi sebagai guru, pamong desa, dan petani namun tidak banyak karena musim tanam di Pulau Sebesi hanya dilakukan sekali dalam setahun saat musim penghujan tiba. Sepintas saya melihat kandang kambing, juga ternak ayam dan kerbau yang dilepas untuk mencari makan. Hasil komoditas pertanian di pulau ini antara lain pisang, kakao, dan kelapa. Saya mengerti sekarang bagaimana Lampung bisa terkenal dengan pisang cokelatnya.
Saat berlibur ternyata ketergantungan manusia dengan gadget tidak berkurang, bisa jadi semakin bertambah demi eksistensi di dunia maya dan delegasi pekerjaan yang ditinggalkan. Sebaiknya sebelum ke sini seluruh baterai gadget terisi penuh karena listrik hanya tersedia sejak pukul 6 sore sampai 12 malam. Saya tidak bisa membayangkan betapa terbatas akses informasi yang penduduk dapatkan. Bagaimana pula mereka bisa mengikuti pertandingan bola yang kebanyakan disiarkan langsung pada dini hari? Jawabannya adalah dengan generator pembangkit listrik. Sebelum kenaikan harga BBM pada bulan Juni lalu, bensin di sini sudah dijual Rp 8000,- per liter. Betapa mahal energi di pulau ini, pantas kalau harga gorengan saja mencapai IDR 1000 per potong. Setidaknya kita akan semakin bersyukur hidup di kota besar dengan segala aksesibilitas mudah dan murah. Harapannya kita bisa lebih berempati dan berhemat dalam penggunaan energi.
Senangnya bergabung dalam rombongan kali ini adalah selain jalan-jalan kami juga menyempatkan diri untuk memberi sumbangan buku ke murid-murid SD Pulau Sebesi. Satu jam menjelang kepulangan para siswa kami diberi waktu untuk mengajak mereka bermain di lapangan. Saya masuk ke kelas V yang sedang belajar Bahasa Lampung. Ada poster aksara Bahasa Lampung, ternyata tidak semua murid mengerti karena tidak semuanya penduduk asli pulau, ada murid pindahan dari Batam, Cilegon, bahkan Bandung. Saya juga melihat kondisi perpustakaan. Ada segerombolan murid kelas VI sedang membaca buku cerita dan ensiklopedia. Saya ngobrol dengan mereka yang paling suka ketika ditanya tentang laut, tempat mereka bermain setiap harinya. Sesekali saya coba bertanya pengetahuan umum mereka tentang nama kota dan provinsi di Indonesia. Sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian kelulusan dan melanjutkan ke bangku SMP, semoga pendidikan di pulau ini dapat diakses dengan baik demi masa depan generasi muda.
Keindahan Alam Bawah Laut
Agenda snorkeling di sekitar Pulau Sebesi terbagi menjadi 3 spot pertama yakni di Pulau Sebuku Kecil, Pulau Sebuku Besar, dan Pulau Umang-Umang. Ketika kapal membawa ke Pulau Sebuku Kecil, kami dimanjakan dengan pantai berpasir putih dan hamparan laut berwarna biru mudah cerah. Arusnya tenang, cocok untuk berenang dan bermain ombak. Sayangnya banyak bulu babi bertebaran di pantai jadi harus berhati-hati agar tidak tertusuk durinya yang panjang dan beracun. Di pulau ini batuan karangnya sudah pucat, tidak banyak ikan berkeliaran.
Snorkeling spot yang kedua adalah Pulau Sebuku Besar, kali ini jangkar kapal tidak ditambatkan di pinggir pulau. Kami akan melihat keindahan terumbu karang di tempat yang lebih dalam, air laut berwarna biru gelap. Saya tidak sabar langsung meloncat dari atas kapal. Byuuuurrrr…akhirnya saya melihat gerombolan ikan berenang di antara karang yang berwarna-warni. Saat muncul ke permukaan untuk mengambil napas, saya langsung berteriak pada anggota rombongan lain untuk segera turun dari kapal. Langit sore itu biru cerah, segaris horizon menjadi pembatas antara laut dan awan. Sesekali saya menyelam, mencoba menyentuh ikan-ikan yang dengan cepat bersembunyi di balik karang. Lelah menyelam saya membalikkan badan, menatap langit, merasakan ombak perlahan menyapu punggung, relaksasi.
Hari semakin sore, kami akan melihat matahari terbenam di Pulau Umang-Umang. Pasir putih, bebatuan pemecah ombak, bersama teman-teman perjalanan, menunggu pergantian hari menjadi gelap. Tidak banyak yang berenang karena ombak bisa menggulung tubuh kita sampai menabrak batuan karang di pinggir pantai. Langit sudah berubah jingga ketika kapal membawa kami kembali ke Pulau Sebesi. Sampai sana saya melanjutkan agenda sore dengan meneguk air kelapa muda langsung dari buahnya untuk menghindari dehidrasi akibat seharian berenang di laut.
Mendaki Anak Krakatau
Hari berikutnya dimulai lebih pagi agar bisa menyaksikan munculnya sang surya di puncak gunung Anak Krakatau. Kapal berangkat pukul 3 dini hari dari Pulau Sebesi, perjalanan pagi itu memakan waktu sampai 2 jam. Rasanya lama sekali kami berada di laut, arus begitu kuat, kapal menghadang badai. Banyak penumpang yang terserang mabuk laut, sementara saya terus berusaha memejamkan mata tanpa bergeser sedikitpun dari tempat saya merebahkan diri.
Tiba di pos penjagaan disambut oleh rintik hujan dan langit pagi yang mendung. Pupus sudah agenda menyaksikan matahari terbit. Saya menuju pos pengawasan bersama beberapa teman untuk menumpang sholat subuh dan ngobrol dengan penjaga pos. Inilah satu-satunya pos pengamatan yang berdiri di kaki gunung Anak Krakatau. Pos tersebut baru dibangun akhir tahun 2012 setelah melalui berbagai kendala terutama kebakaran hutan. Status gunung Anak Krakatau sendiri selalu waspada. Petugas begitu ketat memperingatkan setiap pengunjung apalagi saat cuaca tidak cerah seperti pagi ini.
Beberapa tahun usai letusan dahsyat gunung Krakatau pada tahun 1883, muncullah gunung Anak Krakatau yang masih aktif sampai sekarang. Cagar alam gunung Anak Krakatau yang awalnya dikelola bersama dengan Taman Nasional Ujung Kulon kini telah diserahkan ke Provinsi Lampung. Pada hari biasa, ada 8 orang penjaga yang tinggal di pos penjagaan sesuai dengan jam kerja masing-masing. Salah satu polisi hutan menjelaskan seperti apa jalan menuju puncak gunung, ketika hujan telah reda para wisatawan diperbolehkan mendaki.
Perjalanan menuju puncak gunung anak Krakatau hanya memakan waktu antara 30 – 60 menit. Tingginya sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Setelah melewati cagar alam, kita akan melihat tanjakan curam menuju puncak gunung, mendekati kawah vulkanik. Tidak ada lagi tumbuhan, hanya hamparan pasir dan batuan yang apabila dipijak bisa longsor sewaktu-waktu. Hujan perlahan turun, mendekati puncak angin bertiup kencang. Meski terlihat mudah, alam menunjukkan kebesarannya bagi manusia agar tidak sombong.
Puncak yang para wisatawan capai ini bukanlah puncak sebenarnya, pada jarak 200 meter berikutnya ada kawah vulkanik yang terlalu beresiko untuk didaki. Saya sudah bisa melihat asap vulkanik merembes keluar dari dinding gunung yang mengelilingi kawah. Ketika membalikkan badan, pemandangan yang akan didapati adalah hamparan laut yang luas dan pulau-pulau di sekelilingnya. Perjalanan ini begitu lengkap, mendaki gunung dan berenang di pantai. Usai turun gunung kami melanjutkan agenda pagi dengan sarapan dan siap menikmati alam bawah laut di sekitar gunung Anak Krakatau.
Tempat snorkeling yang ini menjadi penutup sempurna dari serangkaian perjalanan ke gunung Anak Krakatau. Terumbu karang di sekitar hutan bakau, begitu terjaga kelestariannya. Ikan yang berenang juga lebih beraneka ragam, ada ikan kerapu namun saya tidak melihat anemon laut dan ikan sejenis nemo yang selalu dicari-cari. Karena karang yang tumbuh di tempat ini termasuk dangkal maka saya harus memakai sepatu katak untuk meminimalisir cidera akibat tergores batu karang. Berenang di habitat terumbu karang yang dangkal memang lebih melelahkan, pasalnya kita harus tetap menjaga tubuh agar tetap terapung dan tidak menginjak karang.
[caption id="attachment_282424" align="aligncenter" width="300" caption="Menuju Puncak Anak Krakatau"][/caption] [caption id="attachment_282426" align="aligncenter" width="300" caption="Matahari Terbenam di Pulau Umang-Umang"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H