Patah hati adalah salah satu pengalaman emosional paling menyakitkan yang dapat dialami seseorang. Ketika mengalami patah hati, perasaan kehilangan, kekecewaan, dan kesedihan yang mendalam sering kali tidak dapat dihindari. Namun, tahukah Anda bahwa ada penjelasan ilmiah yang mendasari fenomena ini? Berikut adalah ulasan tentang patah hati dari perspektif sains dan kesehatan.
Patah Hati dan Respons Fisik
Penulis artikel sains dan kesehatan, Florence Williams, merasakan patah hati yang luar biasa setelah suaminya meninggalkannya setelah lebih dari 25 tahun bersama. Ia menggambarkan perasaannya seperti cedera otak, tidak bisa tidur dan merasa sangat gelisah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara rasa sakit emosional dan reaksi fisik dalam tubuh kita.
Ilmuwan telah mempelajari bahwa jatuh cinta merangsang otak untuk memproduksi hormon stres sebagai respons alami terhadap perasaan cinta. Ketika kehilangan pasangan, otak kita merespons dengan meningkatkan kadar kortisol, hormon stres yang menyebabkan perasaan gelisah dan tidak aman. Sistem saraf kita merasa terancam saat kita berada dalam kondisi sosial yang mendalam, sehingga memicu reaksi fisik yang kuat.
Sinkronisasi Tubuh dengan Pasangan
Ketika seseorang memiliki hubungan yang erat dengan pasangannya, tubuh mereka dapat menyinkronkan detak jantung, kadar kortisol, dan bahkan gelombang otak. Ketika pasangan pergi, ketidakseimbangan ini dirasakan oleh tubuh, sehingga patah hati juga dapat dirasakan secara fisik.
Penyakit Hati yang Sebenarnya
Patah hati juga dapat memicu kondisi medis yang nyata, seperti "kardiomiopati takotsubo". Kondisi ini terjadi akibat peristiwa traumatis seperti perceraian atau kehilangan orang yang dicintai, yang menyebabkan bentuk jantung berubah dan menyerupai serangan jantung. Hal ini sering terjadi pada wanita pascamenopause yang mengalami tekanan emosional besar.
Musim Patah Hati
Menariknya, ada musim tertentu yang sering dikaitkan dengan peningkatan patah hati. Menurut laman Life, musim semi sering disebut sebagai "musim patah hati" karena pada musim ini, orang cenderung memutuskan hubungan mereka, meningkatkan risiko patah hati.
Penarikan Neurologis
Dr. Mike Dow, seorang terapis Hollywood, menjelaskan bahwa cinta romantis memicu pelepasan berbagai bahan kimia otak seperti oksitosin, dopamin, dan serotonin yang membuat kita merasa senang. Ketika mengalami patah hati, otak kehilangan pasokan bahan kimia ini secara teratur, mengakibatkan penarikan neurologis yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan isolasi.
Cara Mengatasi Patah Hati dengan Pendekatan Ilmiah
Dr. Dow menyarankan beberapa langkah ilmiah untuk mengatasi patah hati:
1. Melakukan "Love Sober" Selama 30 Hari
  Menghindari kontak dengan mantan pasangan, tidak melihat media sosial mereka, dan tidak melakukan hubungan seks dengan mereka membantu ikatan neurologis dalam otak terurai.
2. Menemukan Cara Pengganti
  Jangan terburu-buru mencari hubungan baru. Luangkan waktu sebulan untuk menemukan cara sehat memasok bahan kimia yang dibutuhkan otak dengan bersosialisasi, bermain dengan hewan peliharaan, dan mengejar aktivitas yang memberi kesenangan dan tujuan.
3. Memperhatikan Kesehatan Otak
  Diet, olahraga, dan tidur yang cukup sangat penting untuk menjaga kesehatan otak kita, baik dalam hubungan maupun setelah patah hati.
Patah hati adalah pengalaman yang menyakitkan, tetapi dengan pemahaman ilmiah, kita bisa lebih memahami reaksi tubuh dan otak kita serta menemukan cara-cara efektif untuk sembuh dari luka emosional ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H