Bukannya dingin, justru tambah berontak. Mendang kursi dan meja. Memukul kaki Ibu setengah renta. Mendorong hendak mengusir. Tenaganya dikeluarkan semua. Di sudut ruang tamu ia melampiaskan segenap penderitaan jiwanya yang hendak protes. Perlakuan tidak adil membuatnya semakin brutal.
"Bu sudah! Jika Ibu berbuat kasar kepadanya ia akan semakin beringas, kasihan!"
"Dia anak yang tidak tahu sopan santun!"
Bagaimana seorang anak yang cacat akan tahu sopan-santun sementara perhatian dari orang yang lebih dewasa darinya jarang diberikan? Aku sering mendengar jeritan yang menyakitkan. Pukulan diterimanya oleh perbuatan yang belum dipahaminya baik atau buruk. Ia tidak sekolah. Ia juga tidak mampu berbicara.
Anak itu diseret paksa. Tangannya ditarik. Tubuh digeret ke dalam kamar. Aku melihat dengan mata kepala sendiri sebuah pintu ditutup keras. Suaranya nyaring membuat jantung tersentak. Perlakuan yang mengenaskan. Pintu ditendangi, teriakan yang menyayat hati. Ibu itu acuh.
"Maaf Mbak, dia memang suka ngamuk!'
'Dia marah dengan perlakuan yang Ibu berikan. Pada dasarnya ia hanya ingin hidup normal seperti anak yang lain.' Gumamku dalam hati.
Aku diam saja. Pamit melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Selalu kutemui tragedi mencengangkan di pagi hari.
Kawan, bagaimana dengan hidupmu? Masihkah tidak berarti?
23/02/1/7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H