Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Dimengerti

18 Oktober 2023   10:11 Diperbarui: 18 Oktober 2023   10:40 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajahnya bersinar menyemangati sesuatu yang belum dipahaminya. Waktu merekam lambaian tangan yang digiring sebuah senyuman hangat di dua belah bibir pucat itu. Paras kusam tampak cerah. Lihatlah, malaikat pagi mengajaknya bercanda hingga rona di pipi tampak berseri. Kaos kebesarannya bahkan terpantul anggun. Senyum memoles semua bentuk kekurangan yang dimilikinya menjadi terhapus, meski hanya beberapa detik saja. Maka, penderitaan tatapan iba berlanjut tatkala dua kakinya terseret mendekati halaman rumah. Awan menggelap. Terik mendadak padam. Tubuhnya bergerak patah-patah. Kaku tampak mengemban beban yang amat berat. Angin seolah hendak dirabanya. Jemari masih berdiri di ambang udara.Hasratku melirik sejenak, memerhatikan jiwa yang merintih keadilan kepada alam. Kulempar sebuah senyuman seanggun melati yang mekar. Dua bola mata yang tidak memahami dosa itu berbinar, lebih cerah dibanding purnama nanti malam.

"Arg...arg...." gadis autis. Masih ingatkah kau pada pemilik gigi berantakan itu? Ia yang sering meraung ganas jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Sering pula piring juga gelas dilesatkan mengimajinasikan rudal yang baru saja ditembakkan. Seolah dunia ingin digelapkan serupa makna hidupnya yang suram bertambah kelam. Ia, gadis kecil yang tidak diberi kesempatan Tuhan untuk memilih sebuah kesempurnaan gerak dalam tutur, juga kaki sukar terjulur.

Air liur menetes di dagu, kemudian meluncurkan diri meresap pada celah pori kain lembut. Ia susah payah berusaha berdiri menyeimbangkan tubuhnya. Memegang pilar rumah. Menatapku semringah. Sebuah sinar perhatian dipercikkan ke dalam hati, denyutku tergerak, aku mengerem langkah, maju menghampiri, hendak kuusap ubun yang jarang dibilas dalam mandi. Ia memanggil namaku dengan signal bola matanya. Bayangkan, Kawan! Dirinya malang, ditinggal Ayah ke ladang, Ibu rebah di tanah makam. Siapakah yang hendak menyiapkan sarapan? Perjamuan makan malam hambar, tiada sanak saudara yng memperdulikan, ayah jarang berkomunikasi, jika disulut lelah, maka pembaringan menjadi pelampiasan. Kau akan menyaksikannya termangu di sisi jendela, mengangakan bibir, mendongakkan kepala, wajah diciumi sinar purnama. Angin malam aku menyapu poninya yang jarang disisir rapi. Kehidupannya gelisah, diamuk keinginan yang tidak dapat dipenuhi oleh takdir. Kini, kembali aku di hadapan. Menggenggam tatapan kesepian yang hendak meledakkan kebebasan.

Ia roboh kembali. Duduk di lantai teras rumah. Aku mengembuskan napas beratku. "Kau ingin berjalan?" Perlahan leher itu mengangguk. Embun pagi menatap bening. "Kemarilah, berusahalah untuk berdiri!" Aku mengulurkan tangan. Ia memegang erat, seolah tak rela melepaskan. Sebuah genggaman terkuat yang pernah kurasakan, bahkan Ibuku belum pernah mencengkeram jemariku sehebat ini. Tulang telapakku serasa bergemeletak. Sebab tak ingin menciderai jiwanya maka aku pilih menahan perasaan tak nyaman. "Kau bisa berdiri!"

"Emm!" 

"Ayo bangkit!"

"Emm.."

Jangan pernah kau bosan mendengarkan melodi sumbang dari bibirnya, bukan karena ia bisu tak mampu menguraikan ungkapan, sayangnya ia memang dibatasi Tuhan dalam merangkai ucapan. Ketahuilah, ayahnya adalah sosok lelaki pemurung yang lebih sering menghabiskan waktunya bersama gundukan tanah dan rumput-rumput di ladang untuk menafkahi kekasihnya di kandang. Seekor sapi betina yang sedang mengandung keturunan.

"Apakah kau lelah?"

Lihatlah, mata bulatnya, mata jernihnya berkaca-kaca, perlahan leher itu, leher miliknya yang belum memahami kekejaman hidup di dunia ini mengangguk kembali. "Kau lelah berjalan seperti itu?"

Yang ia inginkan bukan berlian, benda yang menggiurkan dirimu, ia tak bernafsu mengejar popularitas kehidupan di dunia nyata, ia juga acuh dengan kenikmatan harta, yang ia harapkan adalah mampu melangkah seperti dirimu. Bebas berlari, tanpa harus mengemis bantuan kepada lutut untuk membawamu terbang di atas hamparan oase.

Dua belas tahun ia melangkah dengan menyeret kakinya. Menelan iri melihat anak lain riang berlarian di halaman rumah. Ia juga cemburu pada vokal anak-anak yang mengalir dengan lancar. Suaranya dimangsa roh jahat dalam kegelapan. Kesetiannya dirangkum oleh sembilu di bingkai jendela, usai rembulan menyapa, mengharapkan gerimis atau hujan malam tidak berlinang. Ia belum memahami makna persahabatan yang utuh, tak seorang anak pun menggenggam jemarinya mengajak bermain melempar tawa di dunia. Kutafsir,, ia juga b utadengan kecantikan kupu-kupu yang berterbangan di taman-taman. Sejarah hidupnya dihabiskan di beranda rumah, atau mengurung diri di dalamnya, seolah bangunan yang gagah itu adalah penjaranya. Tatapannya menyuratkan sebuah perasaan yang terkengkang.

Ia jatuh. Duduk di atas lantai. Memukuli ke dua lututnya. Menjerit. Satu bulir menetes, bermuara di dagunya. Rambut diacak, kembali mengamuk tumpuan langkahnya selama ini yang tidak pernah bersalah. 'Arg...arg...arg!!' Pemandangan pagi yang menyakitkan. Jiwaku teriris. Ada gerimis yang mengendap di sudut pipi. Andaikan. Begitu aku memposisikan diri, jika ke dua langkah dan pita suaraku yang dibutakan dengan fungsinya, apakah aku akan mampu tegar menghadapi kesunyian yang digariskan waktu? Tak ada seorang pun yang menyapa, aku pun tak akan mampu berkelana mengarungi sempitnya bumi Tuhan yang terjal dan penuh dengan liku yang menantang.

"Kau tidak boleh memukuli dua kakimu!" Aku menarik tangannya lembut.Yan terjadi ia justru menangkis lenganku. Mendorong tubuhku hingga aku terjungkal. Pantat mencium bumi. Aku mendapat perlakuan kasar dari jiwa yang sedang dilumuri keputus asaan.

"ARGG... ARRGGHH!!" Ia menuding wajahku. Tulunjuknya bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku berdiri.

"Jangan pernah marah dengan hidup yang kau miliki, berterimakasihlah pada pemilik dunia, setidaknya kau masih mampu menatap gemerlap bintang di malam hari. Di luar sana beberapa anak ditenggelamkan dengan keterbatasan menikmati cahaya. Kau tahu apa maksudku?"

'Erg..erg..erg...!'

"Mereka buta! Bahkan ada yang tuli!"

"ARGH...ARGH.." Ia menyeret langkahnya menghampiriku. Langsung memukul-mukuli lututku. Aku mundur.

Seorang tetangga menangkap basah adegan tersebut. Taring tumbuh dari giginya. Amarah membuat mata menjadi merah. Berkcak pinggang usai lari tergopoh untuk mendekat. Rambut yang disanggulnya bergoyang-goyang. Ekspresi wajahnya bringas. "Heh! MASUK! JANGAN MAIN DI LUAR! JANGAN PUKULI MBAK RARA! TIDAK SOPAN KAU!" Dua telinga tak berdosa itu ditarik kencang. Dijewer digiring masuk ke dalam.

"Dia tidak bersalah, Bu!" Aku mengejar langkah tetangga yang rumahnya bersebelahan dengannya. Seseorang yang sudah dipasrahi menjaganya. "Dia hanya butuh seorang teman!"

Bukannya dingin, justru tambah berontak. Mendang kursi dan meja. Memukul kaki Ibu setengah renta. Mendorong hendak mengusir. Tenaganya dikeluarkan semua. Di sudut ruang tamu ia melampiaskan segenap penderitaan jiwanya yang hendak protes. Perlakuan tidak adil membuatnya semakin brutal.

"Bu sudah! Jika Ibu berbuat kasar kepadanya ia akan semakin beringas, kasihan!"

"Dia anak yang tidak tahu sopan santun!"

Bagaimana seorang anak yang cacat akan tahu sopan-santun sementara perhatian dari orang yang lebih dewasa darinya jarang diberikan? Aku sering mendengar jeritan yang menyakitkan. Pukulan diterimanya oleh perbuatan yang belum dipahaminya baik atau buruk. Ia tidak sekolah. Ia juga tidak mampu berbicara.

Anak itu diseret paksa. Tangannya ditarik. Tubuh digeret ke dalam kamar. Aku melihat dengan mata kepala sendiri sebuah pintu ditutup keras. Suaranya nyaring membuat jantung tersentak. Perlakuan yang mengenaskan. Pintu ditendangi, teriakan yang menyayat hati. Ibu itu acuh.

"Maaf Mbak, dia memang suka ngamuk!'

'Dia marah dengan perlakuan yang Ibu berikan. Pada dasarnya ia hanya ingin hidup normal seperti anak yang lain.' Gumamku dalam hati.

Aku diam saja. Pamit melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Selalu kutemui tragedi mencengangkan di pagi hari.

Kawan, bagaimana dengan hidupmu? Masihkah tidak berarti?

23/02/1/7

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun