Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Alibi

12 Oktober 2023   08:26 Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:40 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin mengantarkan kesunyian, pekarangan rumah hitam dan tampak kelam. Kunang-kunang tak lagi bercahaya, mereka seolah-olah ikut bersemedi dalam kepedihan, puluhan semut yang biasanya berbaris di dinding alfa, raut gelap mencengkeram keberanian mereka menampakkan diri, tak ada Nabi Sulaiman yang mampu memberikan mereka perlindungan ketika tangan-tangan jahat membisu obat kematian, jika saja Nabi Sulaiman mendengarkan jerit batin Ibu, ia ingin meminta mohon agar mengutus tentara jin dan hewan supaya memberitahu keberadaan putra terkasihnya. Dalam genangan keputus asaan warga, ketika semuanya tak sanggup berbuat apa-apa, pasrah dan hendak melaporkan kepada polisi pada esok harinya, sebuah mobil mewah berhenti di haloaman rumah, tak menunggu lama Gandi keluar. Bapak lari tergopoh-gopoh, sarungnya melorot tak dipedulikan, warga yang lain sujud syukur, ibu-ibu tetangga menangis bahagia penuh hari.

"Gandi, anakku!" Bapak memeluk erat tubuh Gandi, air matanya membuat sungai kecil di bahu anaknya cairannya meresap ke kain kemudian ke pori-pori Gandi. "Kenapa saja kau, Nak? Pergi tanpa kabar? Kau baik-baik saja?" Bapak membelai lembut pipi anaknya, mengecup kening, menatap dalam, memastikan keadaan anaknya yang baik-baik saja. Semua penumpang turun, berdiri di depan warga, memberikan penjelasan.

"Gandi baru saja disekap di dekat kuburan, Pak. Ponsel dan dompetnya dirampas, itulah sebabnya ia tak bisa memberikan kabar kepada kalian."

"Masya Allah, nasib baik kau bertemu dengan mereka Gandi, terima kasih telah mengantarkannya pulang." Pak RT menjabat tangan lelaki berjas, ibu-ibu tetangga menyalami gadis secantik Juliet dan ibu dari tiga anak.

Gandi mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia tak mampu berkata-kata, bahkan tak bisa memberikan penjelasan yang sebenarnya, menangis pun tidak, mengeluh ketakutan apalagi, ia hanya diam di tempatnya, menunduk mencermati tanah yang ditumbuhi rumput liar, tubuhnya panas, auranya pucat, kepalanya pening namun jelas ia dalam keadaan sadar. Harusnya ia mampu mengungkap tabir gelap yang terselubung dari kebaikan orang biadab itu. Harusnya ia bicara supaya diundangkan polisi.

Warga bereuforia, bahkan mobil mewah itu diantarkan pulang sampai perbatasan kampung. Lelaki berjas menitipkan pesan kepada Bapak Gandi supaya menaburkan garam di sekitar rumah, entah apa maksudnya, ia tak menjelaskan.  Sepulangnya mereka, Bapak mengambhil garam dari dapur, siap-siap menaburkannya. Ibu menyadari hal ganjil dari gelagat orang asing itu. Beruntung sekali Ibu saat itu berada di ruang temah, tak ikut serta menyambut Gandi karena tubuhnya lemas, hanya rebah dengan milyaran syukur karena anaknya kembali pulang.

"Mereka orang yang menyekapku." Barulah ketika semuanya tenang dan mereka pulang, Gandi bersuara. Warga kurang percaya, telinga mereka dibuka lebar-lebar, memastikan bahwa yang mereka dengar tidak salah.

"Maksudmu?"

"Mulanya mereka bilang akan membeli ponsel dari konterku dengan syarat aku mengantarkannya, kuantarkan ke alamt yang mereka berikan, anehnya alamat itu bukan perumahan atau sebuah kampung melainkan rumah perkakas orang mati,"

Orang-orang mulai geram.

"Aku tiba-tiba dipukul dari belakang, kemudian dibius empat hari empat malam, tanpa diberi makan. Di sana aku lupa ingatan, aku tak tahu siapa diriku, aku juga bingung mengapa bisa di sana, bahkan aku tak tahu sebab diriku disekap. Aku lupa, lupa yang ganjil. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan pada saat diriku tak sadarkan diri, yang jelas sebelum aku dibius, aku melihat mereka hanya duduk dengan bibir melantunkan kalimat entah, mereka seperti sedang memuja makhluk halus." Penjelasan itu membuat perasaan warga sekarat, jiwa mereka luluh lantah, menyesal karena sempat berbondong-bondong mengantarkan mobil mewah itu, andai saja tahu sedari awal, lelaki berjas dan penumpang lainnya tentu sudah babak belur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun