Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Di Ngadas, Ketika Pelangi Melengkung Tanpa Perlu Bidadari

25 Maret 2016   15:18 Diperbarui: 25 Maret 2016   19:14 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kapan perbedaan menjadi runcing untuk saling mencaci, bahkan melukai? Rupanya mereka lupa, pelangi itu indah karena tak monokrom.

[caption caption="Desa Ngadas, desa tertinggi di Jawa"][/caption]Ngadas, engkau mengajakku ke sana. Mungkin, engkau ingin mengenalkanku pada kekasih tersembunyimu, Semeru. Mungkin aku tak perlu bertanya, bagaimana engkau bisa jatuh cinta pada atap Jawa itu. Karena aku takut, jawabanmu akan membuatku cemburu. Ya, menjadi cemburu karena mungkin aku tak bisa menjangkaumu seperti Semeru merengkuhmu. Di ketinggian, kita akan melihat semuanya dengan utuh. Bumi menjadi lebih bulat. Matahari lebih berwarna. Dan cabang angin yang merekah ke segala arah, tak ada yang sakit hati. Secuil kemegahan itu coba engkau bisikkan dengan mengajakku ke Ngadas. Desa itu, bila betul berada di altimeter 2200 mdpl, maka dia adalah desa tertinggi di Jawa. Hujan siang itu yang mengaburkan pandangan mata. Kabut menyelimuti hingga matahari semakin malas bangun.

[caption caption="Kopi tubruk, dibuat dari biji kopi yang disanggarai oleh Suku Tengger"]

[/caption]Ketika engkau mengajakku menikmati kopi dan kidung tayub dari kaset pemilik warung. Dingin yang coba engkau lepaskan dari udara dengan kopi yang kita cecap bergantian, tanpa engkau perlu menggenggam tangan. Pada kisaran waktu menunggu hujan itulah, aku mengenal Ngadas dalam wajah keberagaman itu. “Udeng. Ada yang duduk dengan udeng,” katamu. Aku bahkan tak beranjak, mestinya tampilan busana khas suku Tengger itu menarikku. Kamera tergeletak kedinginan. Aku lebih suka melihat kabut yang tersingkap pelan, wajah rimbun bukit di depanku terbentang. Ketika suara itu terdengar menggema. Adzan Dhuhur yang menyusup di pura, memantul di wihara, kemudian sampai di telingaku. Sejenak, aku ingin mengambil air wudhu, membasuh kesadaran dan kedunguan yang mulai mengambang di kepalaku.

Di Ngadas, masjid, pura, dan wihara berada di satu garis jalan dan berdekatan. Tidak ada yang saling mengungguli. “Kami Suku Tengger suka damai,” kata salah satu tetua yang kemudian kita singgah ke rumahnya. Ia menyuguhkan teh panas yang lekas dingin, tapi hangat pembicaraan di antara kami tak menggigilkan.

[caption caption="Di Ngadas, rokok satu batang tak dijual. Rokok sebagai lambang sapaan apa kabar"]

[/caption]Lalu engkau bercerita tentang kehangatan Ngadasmu itu. Ketika engkau yang memeluk Yesua, disambut hangat oleh para pengrawit lontar. Di dapurnya yang hangat, dengan aroma kopi, dan jajanan, mereka tak pernah membiarkanmu kedinginan. Aku masih diam, memandangi hujan yang baru selesai menari. Cemara gunung masih menyimpan bulirnya. Ketika dua orang lewat menggiring babi gemuk. Lalu anak-anak kecil berkerudung berlarian sore itu, bergegas ke surau untuk belajar mengaji. Sementara sisa bunga gumitir mulai layu di pura, usai ditinggalkan Galungan. Lalu apa yang harus kita teriakkan atas nama perbedaan itu? Kekasih, tiba-tiba aku merindukan Ngadasmu itu. Ketika pencalonan pemimpin yang riuh mengatasnamakan Tuhanku yang berbeda dengan Tuhanmu, untuk menistakan yang lain. Aku sedih.

[caption caption="Warga Ngadas memeluk agama Islam, Hindu, Buddha, dan ada aliran kepercayaan"]

[/caption]Sekarang pikirkanlah, apakah kita harus larut dalam pertikaian demi entah apa itu? Ketika dua kandidat yang berbeda agama memperebutkan kursi, nama Tuhan dan ayat dijadikan bait kampanye. Lalu lihat di tempat lain, ketika dua kandidat itu agamanya sama, maka suku yang dijadikan bait kampanye.Betapa lucunya ketika kita ikut larut seolah kita sedang melawan Firaun yang bangkit dari kubur batunya. Tidakkah kita berpikir bahwa ayat-ayat Tuhan itu jauh lebih mulia daripada bait kampanye 5 tahunan itu? Rasanya ingin menangis karena mual yang teramat sangat.

Di sisi lain, apakah ikan hiu harus pamer sudah mengarungi 7 samudera untuk mengasuh anaknya? Sama halnya ketika seorang pemimpin diberitakan hafal kitab suci padahal tugasnya untuk membuat rakyatnya makmur? Apa yang dikerjakannya, bukankah dia pemimpin satuan sebuah negara, bukan diangkat sebagai ulama? Logika berpikir ketika itu menyangkut kavling surga yang seolah kita bisa memesannya, tumpul sudah. Aku tak meragukan janji Allah padaku, tetapi biarlah cintaku pada-Nya kutulis di lembah sunyi yang rahasia. Hanya Dia dan aku yang tahu dan merasakan persetubuhan itu, pada ayat-ayatnya yang merekah di setiap pori tubuhku, toh aku tak harus menempelkan pengumuman seperti para pemimpin unyu yang ingin menggaet masa dengan cara menyebalkan itu.

Negeri ini entah bagaimana, seperti dibuat dari bara api. Sekali tersulut, terbakar rumah saudara dan tetangga. Ngadas-mu itu, keindahannya bukan hanya dari bunga-bunga yang mekar di ketinggian. Di sana kutemukan lengkung pelangi yang berwarna, tanpa peduli ada tidaknya bidadari yang melintasi. Dongeng masa kecil itu mengakar kuat dalam benakku, bahwa pelangi adalah jembatan bidadari. Tapi demi bidadari, haruskah kita meniadakan warna pelangi itu? Lalu jika engkau mengejar 72 bidadari, apakah cinta-Mu tulus, bukan transaksional? Bukankah cintamu bukan cinta kandidat pada partainya, bukan? Cinta bersyarat dan berdalih. Sayangnya, cinta yang demikian banyak memakan korban, atas nama Cinta yang Maha Cinta.

Ah, aku izinkan jatuh cinta pada Ngadasmu, pada Semerumu, atau mungkin padamu?

Catatan: Ngadas merupakan desa di wilayah Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Di sana, sebagian besar ditinggali Suku Tengger dan beragam agama yang hidup damai.

[caption caption="Perempuan petani sayur"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun