Sejak kapan perbedaan menjadi runcing untuk saling mencaci, bahkan melukai? Rupanya mereka lupa, pelangi itu indah karena tak monokrom.
[caption caption="Desa Ngadas, desa tertinggi di Jawa"][/caption]Ngadas, engkau mengajakku ke sana. Mungkin, engkau ingin mengenalkanku pada kekasih tersembunyimu, Semeru. Mungkin aku tak perlu bertanya, bagaimana engkau bisa jatuh cinta pada atap Jawa itu. Karena aku takut, jawabanmu akan membuatku cemburu. Ya, menjadi cemburu karena mungkin aku tak bisa menjangkaumu seperti Semeru merengkuhmu. Di ketinggian, kita akan melihat semuanya dengan utuh. Bumi menjadi lebih bulat. Matahari lebih berwarna. Dan cabang angin yang merekah ke segala arah, tak ada yang sakit hati. Secuil kemegahan itu coba engkau bisikkan dengan mengajakku ke Ngadas. Desa itu, bila betul berada di altimeter 2200 mdpl, maka dia adalah desa tertinggi di Jawa. Hujan siang itu yang mengaburkan pandangan mata. Kabut menyelimuti hingga matahari semakin malas bangun.
[caption caption="Kopi tubruk, dibuat dari biji kopi yang disanggarai oleh Suku Tengger"]
Di Ngadas, masjid, pura, dan wihara berada di satu garis jalan dan berdekatan. Tidak ada yang saling mengungguli. “Kami Suku Tengger suka damai,” kata salah satu tetua yang kemudian kita singgah ke rumahnya. Ia menyuguhkan teh panas yang lekas dingin, tapi hangat pembicaraan di antara kami tak menggigilkan.
[caption caption="Di Ngadas, rokok satu batang tak dijual. Rokok sebagai lambang sapaan apa kabar"]
[caption caption="Warga Ngadas memeluk agama Islam, Hindu, Buddha, dan ada aliran kepercayaan"]
Di sisi lain, apakah ikan hiu harus pamer sudah mengarungi 7 samudera untuk mengasuh anaknya? Sama halnya ketika seorang pemimpin diberitakan hafal kitab suci padahal tugasnya untuk membuat rakyatnya makmur? Apa yang dikerjakannya, bukankah dia pemimpin satuan sebuah negara, bukan diangkat sebagai ulama? Logika berpikir ketika itu menyangkut kavling surga yang seolah kita bisa memesannya, tumpul sudah. Aku tak meragukan janji Allah padaku, tetapi biarlah cintaku pada-Nya kutulis di lembah sunyi yang rahasia. Hanya Dia dan aku yang tahu dan merasakan persetubuhan itu, pada ayat-ayatnya yang merekah di setiap pori tubuhku, toh aku tak harus menempelkan pengumuman seperti para pemimpin unyu yang ingin menggaet masa dengan cara menyebalkan itu.
Negeri ini entah bagaimana, seperti dibuat dari bara api. Sekali tersulut, terbakar rumah saudara dan tetangga. Ngadas-mu itu, keindahannya bukan hanya dari bunga-bunga yang mekar di ketinggian. Di sana kutemukan lengkung pelangi yang berwarna, tanpa peduli ada tidaknya bidadari yang melintasi. Dongeng masa kecil itu mengakar kuat dalam benakku, bahwa pelangi adalah jembatan bidadari. Tapi demi bidadari, haruskah kita meniadakan warna pelangi itu? Lalu jika engkau mengejar 72 bidadari, apakah cinta-Mu tulus, bukan transaksional? Bukankah cintamu bukan cinta kandidat pada partainya, bukan? Cinta bersyarat dan berdalih. Sayangnya, cinta yang demikian banyak memakan korban, atas nama Cinta yang Maha Cinta.
Ah, aku izinkan jatuh cinta pada Ngadasmu, pada Semerumu, atau mungkin padamu?
Catatan: Ngadas merupakan desa di wilayah Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Di sana, sebagian besar ditinggali Suku Tengger dan beragam agama yang hidup damai.
[caption caption="Perempuan petani sayur"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H