Ibu merasa gagal menjadi ibumu. Tak selalu ada saat engkau menangis. Tak selalu hadir saat engkau mengerjakan PR. Tak selalu ada untuk memeluk takutmu saat hujan begitu deras seperti saat ini.
Dear Sausan,
Jakarta dingin dan basah malam ini. Hujan berpetir-petir mengguyur Jakarta, seakan ingin mendinginkan suasana yang memanas di luar sana. Ibu tidak ingin membicarakan itu. Karena para orang dewasa seakan lupa menjadi dewasa saat membicarakan hal yang sedang memanas kali ini. Sudahlah, Sayang…tak usah engkau tanya apa itu.
Di dalam taksi menuju arah rumah kita, tiba-tiba ibu ingin selekasnya sampai di rumah. Untuk menyapa pipi bulatmu. ‘Apakah ibu membawa sesuatu untuk Sausan?’ Kata yang ingin kudengar dari bibir mungilmu itu, di tengah jalan yang stag dan air mulai menguasai Jl. Gatot Subroto. Untuk mendengar ceritamu hari ini. Apakah kelincimu nakal hari ini? Apakah engkau jadi membeli kelomang untuk mengganti yang kemarin hilang? Jangan lupa membeli makanannya juga, agar mereka tidak kelaparan. Atau resluiting tas yang tadi pagi ibu jahit, masih bisa bertahan?
Hujan yang mengetuk kaca jendela taksi semakin garang. Petir bersautan berlomba ingin didengar. Tiba-tiba mengingatkan saat di mana kita saling teriak. Maafkan ibu, Sayang. Ibu bukanlah ibu yang lembut seperti di iklan susu. Saat engkau teriak, kadang ibupun teriak lebih keras. Saat itu, hati kita semakin menjadi jauh. Bukankah bila kita dekat, berbisikpun kita sudah saling mendengar?
Perjalanan yang panjang, menyusuri lorong kota hari ini, tak bisa melupakan wajahmu yang berlinang air mata, tadi pagi. Betapa kita bukanlah lawan yang seimbang. Saat engkau lelap, dengan tangan-tangan mungil yang mendekap boneka Micky Mouse dan bulu mata yang begitu lekat di pipimu yang beraroma pagi. Ibu menyadari, betapa kecilnya dirimu, betapa rapuhnya engkau.
Bagaimana ibu bisa merampas jajanan yang bangga engkau tunjukkan karena itu jajanan penuh pengawet yang bukan makanan? Engkau hanya ingin mengatakan, betapa hebatnya dirimu bisa memilih makanan itu seperti kawan-kawanmu. Bagaimana ibu bisa meneriakimu hanya gara-gara kamu mencoret lembar pekerjaan ibu? Kamu hanya ingin membantu. Ibu terkadang terlalu merasa sok dewasa dan memahami segala hal, termasuk dirimu.
Kamu hanya ingin hadir di dunia ibu yang diam-diam engkau kagumi dengan caramu. Kerap kudengar engkau mengatakan ke kawan-kawan main sepedamu itu: Itu ibuku. Ibuku menulis dan memotret. Saat kawanmu menanyakan, ibumu menjadi apa? Dokter? Insinyur? Guru? Kamu jawab dengan lantang: ibuku menulis surat untukku dan memotret. Tidak harus disebut namanya apa. Tidak harus apa namanya. Sampai orang-orang memberi nama yang menjadikan ibu merasa gagal menjadi ibumu. Tak selalu ada saat engkau menangis. Tak selalu hadir saat engkau mengerjakan PR. Tak selalu ada untuk memeluk takutmu saat hujan begitu deras seperti saat ini.
‘Mother, how are you today? Here is a note from your daughter…’ Lagu yang dilantunkan Maywood di tahun 1980-an itu diputar sopir taksi. Di taksi dengan kaca jendela yang basah, basah pula mata ini. Ibu mengingat bagaimana engkau menuliskan kata untuk ibu setiap engkau mau tidur. Untuk ibu baca saat pertama ibu membuka pintu kamarmu, di malam yang tak lagi muda. Dengan tulisan tangan yang tak beraturan itu. Dan pesan-pesan khasmu: Ibu, belikan Sausan sesuatu ya. Coklat atau Milkuat keliling dunia.
Gedung-gedung yang seperti berjalan pelan di kaca jendela taksi. Lampu di sepanjang jalan lebih berkilau oleh hujan. Warna-warni di jendela taksi ini mengingatkan akan puluhan bendera yang kaugambar dengan pensil warna itu. Engkau sibuk bertanya, ini bendera mana? Brasil itu bahasa apa? Kalau Chile itu bahasa apa? Apakah semua orang bule itu Inggris? Mengapa Indonesia tak punya musim salju? Kalau ibu tidak bisa menjawab, nanti Sausan akan datang ke negara itu. Untuk bertanya orang-orang di sana.
Pertanyaan demi pertanyaan yang tak mungkin semua kujawab itu mengingatkanku. Saat ibu seusiamu. Saat ibu ingin sekali pergi ke bulan. Hanya untuk menemui putri dengan kucingnya yang tampak kesepian. Untuk keliling dunia. Sepertimu. Kita memang sama, lantas bagaimana ibu berteriak lebih keras, saat engkau berteriak keras.
Aku menyanyangimu, Sayang, dengan marahku. Dengan teriakku. Dengan menyakitimu. Dengan mengingat wajah pagimu di seluruh wajah anak yang kutemui di sepanjang perjalananku, dengan atau tanpamu. Aku menyayangimu, dengan doa-doa yang kupanjatkan saat lelapmu. Semoga mimpimu indah selalu, dan selalu bangun pagi dengan senyum. Karena detik itulah, hariku dimulai.
Catatan yang tertulis di sepanjang Jl. Gatot Subroto-Karawaci. 12 Juni 2014. 10-11.30 PM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H