Mohon tunggu...
Titien Sumarni
Titien Sumarni Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Saya adalah seorang guru di seuah sekolah dasar yang memiliki kegemaran travelling dan menulis serta membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mentari yang Selalu Diharapkan

25 Desember 2023   15:01 Diperbarui: 25 Desember 2023   15:06 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi Titien 2023

Langkah Sarmila terhenti di pintu pagar rumah tua itu. Rumah dengan bangunan kayu yang kokoh dan semi permanen itu nampak memancarkan gaya kunonya. Halaman luas dengan beberapa pohon mangga dan rambutan serta bunga menambah suasana rumah terlihat asri dan khas. Meski sudah bertahun-tahun ditinggalkan tetapi nampak rumah itu bersih dan terawat. Tetangga di kanan kiri rumah itupun masih terlihat sepi. Biasanya suasana desa di pagi hari agak lengang, karena orang-orang sedang bekerja di sawah dan ladang mereka. 

Sarmila menarik nafas panjang dan membuka pintu pagar halamn tersebut dengan menggunakan kunci yang telah di berikan oleh Pak Ujang yang diberikan tugas merawat semua aset peninggalan keluarga Ramli Wijaya. Sarmila merupakan cucu buyut dari keluarga tersebut. Aroma kayu gaharu yang dibakar menguar di ruangan rumah saat Sarmila membuka pintu. Aroma kayu gaharu memang biasa di bakar oleh warga desa untuk mengharumkan ruangan sehingga mereka tidak menggunakan parfum seperti di kota-kota besar. Di setiap rumah wangi asap gaharu itu sudah biasa. Sarmila menyukai aromanya, dan dia menghirup aroma tersebut sambil tersenyum.

"Hmmmm...rasanya menenangkan dan eksotis", bisiknya pelan sambil tersenyum kecil. 

Sarmila melemparkan ranselnya ke atas sebuah dipan jati yang besar dan terlihat mewah, karena disana ukirannya yang rumit menampakkan keindahan khas jawa. Sarmila mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan besar yang mungkin berukuran 4 x 4 meter. Nampak kamar mandi yang di batasi dengan ukiran jati yang indah. Ruang keluarga yang begitu unik, luas tanpa kursi satupun. Di bagian belakang ruangan ada dapur terbuka dengan lemari jati di plitur. Semua bangunan dan perabot rumah ini menggunakan kayu alam yang nampak menonjolkan urat kayu yang alami. Sarmila tertawa kecil memikirkan dan membayangkan nilai tukar bangunan dengan desain unik ini dengan nominal uang zaman sekarang. 

"Sadar, Mila. Apa tujuanmu datang ke desa ini". Sarmila berbisik pelan sambil menepuk jidatnya.

Sarmila puas mengelilingui rumah tua tersebut dan kembali ke kamar utama. Sarmila tersenyum kecil menatap foto orang tua dna kakek buyutnya yang terpampang di dinding rumah tersebut dengan ukuran besar. 

"Aku akan memenuhi apa yang menjadi keinginanmu, Ayah. Semoga semua sesuai dengan rencana". Sarmila mengelus kaca bingkai foto itu dengan penuh rindu.

Senyum kedua orang tuanya nampak seakan memberi semangat kepada Sarmila untuk menyelesaikan apa yang sudah direncanakan di  kota kemarin. Dan itulah yang membuat kakinya dengan ringan melangkah kembali ke desa ini.

Dusun Pelita Karya merupakan desa kecil di pinggiran kota yang berada di Pulau Sumbawa. Letaknya sangat strategis diantara jalan provinsi kurang lebih 42 kilo meter dari kota kabupaten. Sarmila sudah belasan tahun meninggalkan pulau ini. Mengikuti kemana orang tuanya kala itu bertugas sebagai seorang karyawan perusahaan swasta milik BUMN. Sekarang usia Sarmila menginjak 25 tahun. Jika bukan karena permintaan terakhir dari Ayahnya Sarmila enggan kembali sendiri ke pulau ini.

"Assalamualaikum...". sebuah suara nyaring melenyapkan semua pemikiran Sarmila tentang pesan almarhum ayahnya. Sarmila melihat ke arah pintu rumah yang masih terbuka lebar. Beberapa orang berdiri tepat di teras rumah yang berhadapan dengan pintu dan langsung dengan leluasa melenggang ke ruang utama keluarga.

"selamat datang kembali ke kampung ini, Mila. Aku sangat senang dengan kehadiranmu. Apakah kamu masih mengingatku?". Sosok wanita cantik dengan jilbab merah itu tertawa senang memeluk Sarmila. Sarmila tergagap sejenak. Mencoba mengingat kembali siapa orang-orang yang demikian dekat dengan dirinya dan keluarganya kala itu.

"Aku Dewi. Tadi pak Ujang memberi tahu kami bahwa kamu sudah tiba di rumah ini,sehingga kami datang bersama untuk menemuimu". Beberapa orang bersam Dewi mengangguk tersenyum. Aku mengganggukkan kepala mengerti. Aku mencoba untuk mengingat kembali mereka satu persatu, sungguh waktu yang belasan tahun yang lalu membuat mereka kini tampil dalam keadaan yang berbeda. Sarmila menyalami mereka satu persatu dan memeluk Dewi dengan erat dan penuh kerinduan.

Mereka berbincang sambil sesekali tertawa mengingat masa kecil mereka dulu. Sungai adalah tempat yang terindah di masa itu untuk menghabiskan waktu. Sarmila dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak ketiak menceritakan saat dimana mereka pergi mandi dan pulang dalam keadaan basah kuyup serta terlambat. Mereka terlalu sering mendapat hukuman dari guru SD kala itu, hanya karena keasykan mandi di sungai saat jam istirahat atau lupa waktu saat menjelajah bukit di belakang sekolah demi mencari buah-buhan hutan yang mereka makan bersama di sekolah.

Beberapa teman Sarmila berpamitan karena sudah lama bercengkrama, kini tinggal Dewi dan Sarmila duduk berdua di ruang tamu keluarga yang luas. Sarmila meraih gelas jus yang masih penuh di depannya.

"Sekarang apa rencanamu, dan untuk berapa lama kamu akan tinggal di desa ini?". Dewi menatap wajah Sarmila dengan penuh arti. Ya, Sarmila memang hanya bisa mengandalkan Dewi selain pak Ujang di desa ini untuk membantunya melaksanakan apa yang di pesankan oleh almarhum ayahnya. Sarmila terdiam sejenak.

"Aku puny awaktu dua minggu, dan besok pagi bantu aku untuk menemui keluarga yang ada di foto ini". Sarmila menyodorkan beberapa buah foto yang terlihat sudah usang. Dewi tertawa geli melihat ke arah kumpulan foto yangSarmila sodorkan ke wajahnya.

"Mengapa ayahmu sangat ingin mempertemukan kamu dengan keluarga ini?" Dewi memeperhatikan satu persatu wajah di dalam foto itu. Sarmila meneguk jusnya hingga habis tanpa sisa. 

"Menyelesaikan hutang lama. Menurut almarhum ayahku wajib bertemu dengan mereka. Selanjutnya aku akan mendengarkan pesan dari mereka untuk menyelesaikan apa yang menjadi hutang diantara mereka dulu". Sarmila mengambil kembali foto-foto yang tadi diperhatikan oleh Dewi. Dewi menarik nafas panjang dan menyelonjorkan kakinya dengan leluasa.

"Baiklah, besok aku kan menjemputmu untuk bertemu dengan mereka. Tapi aku tidak yakin orang-orang yang ada di foto itu masih mengenalimu. Sebaiknya kita mengajak pak Ujang juga untuk menemani kita kesana. Menurut beberapa orang yang aku dengar keluarga itu sangat tertutup. Tentu mereka mungkin karna sangat selektif menerima tamu asing seperti kita". Dewi memaparkan panjang lebar tentang apa yang diketahuinya.

Sarmila mengerutkan kening menatap Dewi dengan banyak pertanyaan di kepalanya.

"Mengapa menatapku seperti itu?". Dewi menatap mata Sarmila tajam.

"Kamu tidak mengenal mereka?", Sarmila menatap mata Dewi dengan tajam dan heran.

Dewi mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dan tersenyum kecil.

"Bukan tidak mengenal mereka tetapi lebih tidak terlalu mengenal mereka, Mila". Dewi beranjak dari temaptnya duduk dan mengemasi beberapa gelas bekas minum jus bersama teman-temannya tadi dan membawanya ke bagian belakang ruangan.

Sarmila menggigit bibirnya. 

Otaknya berpikir keras tentang tujuan ayahnya memberikan pesan untuk menemui keluarga Aditama Nugraha yang menurut ayah adalah sahabat baiknya dan telah membuat perjanjian dalam bentuk hutang keluarga yang harus Sarmila selesaikan agar tidak menjadi hutang berkelanjutan.

Dan tujuan itulah yang membawa Sarmila mengambil cuti dari perusahaan tempatnya bekerja untuk jangka waktu dua minggu ke depan. 

***

Pagi itu Sarmila, Dewi, dan Pak Ujang telah tiba di tempat yang tertera di alamat pada sebuah kertas putih dalam genggaman Sarmila. 

Sebuah rumah besar bergaya modern dengan pagar halaman tinggi serta suasana sepi menjadi tempat mereka berdiri termangu sambil menunggu jawaban dari bel yang telah untuk ketiga kalinya di pencet oleh Pak Ujang.

"Pak, jika kali ini belum ada jawaban sebaiknya kita pulang saja yaa. Mungkin pemilik rumah tidak berada di tempat". Sarmila menyandarkan punggungnya di pagar tembok penyangga gerbang. 

"Kita coba dulu, Neng. Supaya usaha kita tidak sia-sia. Bukankah semakin cepat segala urusan kita selesaikan akan menjadi lebih baik untuk Neng dan keluarga". Pak Ujang masih memberi motivasi untuk bersabar.

Sosok berpakaian rapi membuak gerbang tinggi sambil tersenyum ramah. 

"Maaf, telat membuka gerbang. Bapak dan mbak ini mencari siapa?". bapak itu bertanya dengan sangat ramah. Sarmila menegakkan tubuhnya dan maju menghadap si Bapak yang membuka pintu. Sarmila menyodorkan kertas tertera nama dan alamat dengan tulisan tangan rapi dan jelas. Sesaat bapak itu menatap Sarmila dan yang lain. 

"Maaf kalau boleh tahu, mbak darimana ya?", tanyanya sambil meraih dan mengamati kertas alamat dari tangan Sarmila.

"Saya dari Jakarta, pak. Nama saya Sarmila Wijaya, ini teman saya Dewi, dan ini paman saya pak Ujang". Sarmila memperkenalkan dirinya dengan suara tenang. 

"Saya Sardi, mbak. Saya penjaga rumah ini. Kebetulan pemilik rumah ini baru semalam sampai dari Jakarta. Mbak dan bapak silahkan langsung masuk saja, mereka sedang berada di ruang keluarga. Mari saya antarkan". Pak Sardi menyerahkan kertas alamat ke tangan Sarmila. Mereka bertiga berjalan mengikuti pak Sardi. Halaman rumah itu nampak luas dan berjalan menuju pintu rumah disuguhi pemandangan taman yang indah tertata penuh dengan aneka bunga menyejukkan pandangan. 

"Assalamualaikum...". Mereka hampir bersamaan mengucap salam di pintu rumah yang berdiri kokoh. Ruang tamu terbuka dan luas nampak mewah tertata rapi dengan berbagai perabotnya. Serentak tiga orang yang sedang bercengkrama bangun dari duduknya dan menjawab salam sambil berdiri menyambut Sarmila dan pak Sardi serta temannya. 

Pak Sardi menjelaskan sesaat kedatanga Sarmila lalu pamit keluar. Tinggallah Sarmila, Dewi, dan Pak Ujang bersama pemilik rumah dalam ruangan itu. Sarmila tertegun melihat lelaki muda di depannya. Sarmila sangat mengenalnya karena mereka satu perusahaan di Jakarta. Dan mereka merupakan kepala divisi dibagian yang berbeda. 

"Mila...", sebut lelaki muda itu terkejut. Sarmila membisu sejenak, tak menyangka akan bertemu rekan divisinya di kota yang sama. Sarmila tak tahu sama sekali dan memang Sarmila tidak pernah tahu siapa Hendra dan dariman asalnya. Lelaki muda itu tersenyum dan tertawa tanpa suara. 

"Pak, ini Sarmila. Kami di Jakarta bekerja di perusahaan yangsama tetapi beda divisi." Hendra memperkenalkan Sarmila kepada kedua orang tua yangmerupakan ayah dan ibu dari Hendra. Sarmila terkesiap dan ikut menyalami kedua orang tua Hendra dengan masih banyak pertanyaan di kepalanya.

"Mengapa kamu bisa sampai di rumahku?", Hendra mengerutkan keningnya menatap Sarmila. Sarmila menarik nafas panjang menghilangkan rasa gugupnya ditatap oleh Hendra. Di perusahaan tempat mereka bekerja Hendra adalah sosok yang paling diidolakan oleh seluruh karyawan perempuan muda. Selain tampan, muda, pintar, dan memiliki kedudukan yang bagus di perusahaan Hendra juga masih sendiri. Tutur katanyapun sopan dan sangat disukai oleh banyak orang. Bagaimanapun Sarmila memang sering mendengar nama Hendra disebut dan dipuja banyak perempuan di tempat kerjanya.

Setelah duduk dan memperkenalkan diri Sarmila langsung kepada tujuan utamanya.

"Saya sebenarnya datang kesini dengan tujuan membawa pesan dari almarhum ayah saya pak, bu." Sarmila memperbaiki duduknya, dia jadi merasa sangat gugup apalagi beberapa kali Hendra menatapnya dengan tajam dan tersenyum. Sarmila menyodorkan sebuah kertas yang tadi ditunjukkannya ke pak Sardi. Ayah Hendra mengambil kertas itu dan mmebaca tulisan alamat yang tertera. Laki-laki tua berumur kurang lebih 60 tahun itu tersenyum dan nampak matanya berkaca-kaca. 

"Ini adalah tulisanku kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Saat itu bapak masih kuliah sambil bekerja di Yogyakarta bersama Wijaya. Bagaimana kabar bapakmu sekarang?". pak Nugraha menatap Sarmila dengan tersenyum penuh arti.

"Beliau sudah wafat setahun yang lalu, pak". Sarmila menjawab dengan suara pelan.

Nampak raut kaget di wajah  pak Nugraha dan istrinya. Hendra ikut terkejut menatap Sarmila. Sarmila memberikan beberapa penjelasan dan cerita keluarganya sampai pesan terakhir yang diminta oleh ayahnya. Pak Nugraha mengangguk penuh arti. Mereka berbincang-bincang sambil bercerita membuat suasana nampak akrab dan semakin dekat. Beberapa kali Hendra mengeluarkan cerita-cerita lucu di sela-sela perbincangan mereka. 

"Baiklah, nak Sarmila. Karena kamu sudah sampai disini maka bapak akan mengatakan apa sebenarnya yang menjadi hutang diantara keluarga bapak dan keluarga Wijaya." Pak Nugaraha memandang Sarmila dengan penuh arti. 

"Karena ayahmu sudah wafat jadi bapak akan mengatakannya sekarang. Kebetulan Hendra juga sudah mengenal kamu. Bapak berharap perjanjian ini berakhir sampai di sini dan kita akan menganggap hutang piutang keluarga selesai. Bukankah begitu, bu?"

Pak Nugraha meminta persetujuan istrinya. Bu Nugraha hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti ke arah Sarmila dan Hendra. Dewi dan pak Ujang hanya diam mengikuti seluruh percakapan itu dengan hikmat. 

"Kami sepakat untuk menjodohkan anak-anak kami saat itu. Dan kebetulan dari anak bapak ada Hendra dan Wijaya ada dirimu. Sehingga saat kalian kecil kami sudah berjanji akan menjodohkan kalian berdua ketika dewasa nanti. Dan bapak rasa ini adalah saat yang tepat untuk menunaikan janji tersebut. Bagaiman menurut kalian?". Pak Nugraha menyandarkan punggungnya dengan ringan pada sandaran sofa.

Sarmila terkejut menatap tak percaya ke arah kedua orang tua Hendra. Sarmila juga melayangkan tatapan tajam pada Hendra. Tetapi lelaki muda itu hanya tersenyum seakan telah memahami apa yang akan terjadi. 

"Saya...". Sarmila tak mampu mengucapkan kalimat apapun. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu dan semua kalimat yang tadi muncul di kepalanya untuk menolak perkataan pak Nugraha seketika hilang. Sarmila duduk tanpa mengucapkan kata-kata sepatahpun.

Dewi dan pak Ujang saling tatap. Bagaimanapun mereka adalah orang terdekat yang menemani Sarmila. 

"Karena kalian cuti hanya dua minggu, jadi bapak ingin pernikahan kalian segera dilaksanakan dengan cara sederhana saja. Nanti saat kalian sudah sah kalian berdua bis amelakukan pendekatan dan pengenalan satu sama lain. Maka sluruh hutang piutang dua sahabat tunai dan lunas". Pak Nugraha memberi pandangan dengan suara lembut dan tegas. 

"Aku setuju, yah. Semakin cepat semakin lebih baik". Bu Nugraha memberikan pendapatnya tanpa meminta persetujuan Sarmila ataupun Hendra. Sarmila semakin galau dan kacau. Sarmila berada diantara menjalankan pesan almarhum ayahnya dan menghormati kedua orang tua Hendra. Sarmila menatap pak Ujang yang sudah dianggapnya keluarga terdekatnya setelah semua kelaurganya tidak ada. Pak Ujang mengangguk pelan, memberi persetujuan.

Setelah berbincang sejenak tentang rencana pak Nugraha selanjutnya, akhirnya Sramila danpak Ujang serta Dewi pamit pulang untuk melakukan beberapa persiapan sederhana di kampungnya.

"Bagaimana perasaanmu, nak?". Pak Ujang melontarkan pertanyaan setelah mereka berada di mobil dalam perjalanan kembali ke rumah tua milik Sarmila. 

Sarmila menghembuskan nafas panjangnya dan menatap Dewi dengan penuh permintaan. Dewi mengangkat bahunya.

"Jawabanmu adalah penutup akhir dari perjalana pesan orang tuamu, Mila. Hiendra juga aku lihat penurut dan tidak ada kekurangan dalam penampilannya. Kamu kan sudah lama mengenal dia walau tidak mengenal secara dekat. Mungin itu jodoh yang Tuhan takdirkan untukmu". Dewi bersuara dan memberi semangat pada sahabatnya yang sudah seperti saudaranya.

Sarmila terdiam. Pikirannya sedang berkelana merankaikan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini. 

Yah...mentari selalu terbit dengan harapan yang sama tanpa kita tahu apakah nanti akan ada angin, hujan, atau badai sekalipun.

Sarmila menutup kaca mobilnya dan mencoba mencerna setiap perkataan almarhum kedua orang tuanya sebelum kecelakaan terjadi. Tuhan selalu ada dan selalu memberikan yang terbaik kepada setiap hambaNya sesuai dengan ukuran dan takaran. Yang tak kita inginkan terkadang terjadi menjadi sebuah kebahagiaan atau kesedihan hanya Tuhan yang tahu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun