Mohon tunggu...
Titien Sumarni
Titien Sumarni Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Saya adalah seorang guru di seuah sekolah dasar yang memiliki kegemaran travelling dan menulis serta membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mentari yang Selalu Diharapkan

25 Desember 2023   15:01 Diperbarui: 25 Desember 2023   15:06 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya sebenarnya datang kesini dengan tujuan membawa pesan dari almarhum ayah saya pak, bu." Sarmila memperbaiki duduknya, dia jadi merasa sangat gugup apalagi beberapa kali Hendra menatapnya dengan tajam dan tersenyum. Sarmila menyodorkan sebuah kertas yang tadi ditunjukkannya ke pak Sardi. Ayah Hendra mengambil kertas itu dan mmebaca tulisan alamat yang tertera. Laki-laki tua berumur kurang lebih 60 tahun itu tersenyum dan nampak matanya berkaca-kaca. 

"Ini adalah tulisanku kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Saat itu bapak masih kuliah sambil bekerja di Yogyakarta bersama Wijaya. Bagaimana kabar bapakmu sekarang?". pak Nugraha menatap Sarmila dengan tersenyum penuh arti.

"Beliau sudah wafat setahun yang lalu, pak". Sarmila menjawab dengan suara pelan.

Nampak raut kaget di wajah  pak Nugraha dan istrinya. Hendra ikut terkejut menatap Sarmila. Sarmila memberikan beberapa penjelasan dan cerita keluarganya sampai pesan terakhir yang diminta oleh ayahnya. Pak Nugraha mengangguk penuh arti. Mereka berbincang-bincang sambil bercerita membuat suasana nampak akrab dan semakin dekat. Beberapa kali Hendra mengeluarkan cerita-cerita lucu di sela-sela perbincangan mereka. 

"Baiklah, nak Sarmila. Karena kamu sudah sampai disini maka bapak akan mengatakan apa sebenarnya yang menjadi hutang diantara keluarga bapak dan keluarga Wijaya." Pak Nugaraha memandang Sarmila dengan penuh arti. 

"Karena ayahmu sudah wafat jadi bapak akan mengatakannya sekarang. Kebetulan Hendra juga sudah mengenal kamu. Bapak berharap perjanjian ini berakhir sampai di sini dan kita akan menganggap hutang piutang keluarga selesai. Bukankah begitu, bu?"

Pak Nugraha meminta persetujuan istrinya. Bu Nugraha hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti ke arah Sarmila dan Hendra. Dewi dan pak Ujang hanya diam mengikuti seluruh percakapan itu dengan hikmat. 

"Kami sepakat untuk menjodohkan anak-anak kami saat itu. Dan kebetulan dari anak bapak ada Hendra dan Wijaya ada dirimu. Sehingga saat kalian kecil kami sudah berjanji akan menjodohkan kalian berdua ketika dewasa nanti. Dan bapak rasa ini adalah saat yang tepat untuk menunaikan janji tersebut. Bagaiman menurut kalian?". Pak Nugraha menyandarkan punggungnya dengan ringan pada sandaran sofa.

Sarmila terkejut menatap tak percaya ke arah kedua orang tua Hendra. Sarmila juga melayangkan tatapan tajam pada Hendra. Tetapi lelaki muda itu hanya tersenyum seakan telah memahami apa yang akan terjadi. 

"Saya...". Sarmila tak mampu mengucapkan kalimat apapun. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu dan semua kalimat yang tadi muncul di kepalanya untuk menolak perkataan pak Nugraha seketika hilang. Sarmila duduk tanpa mengucapkan kata-kata sepatahpun.

Dewi dan pak Ujang saling tatap. Bagaimanapun mereka adalah orang terdekat yang menemani Sarmila. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun