Dilansir dari historia-id, praktik poligami di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Beberapa artefak dan prasasti telah membuktikannya. Raja-raja pada zaman kerajaan Jawa kuno telah lama melakukannya.Â
Sebutlah Ken Arok yang memiliki Ken Dedes dan Ken Umang. Atau Raden Wijaya yang keempat istrinya merupakan putri dari Kartanagara. Ini berarti sejak dulu memiliki banyak istri bukanlah hal yang kontoversial untuk dilakukan.
Tapi, apakah poligami di zaman dulu hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan yang secara materi memang mampu, atau rakyat jelata juga melakukannya saya tidak tahu.Â
Untuk menggambarkan perasaan para pelaku termasuk orang-orang terdekat mereka (anak dan orangtua), beberapa sineas tanah air telah mengangkat isu ini ke layar kaca.Â
Beberapa judul film seperti Berbagi Suami (2006),:Ayat-Ayat Cinta (2008), Surga yang Tak Dirindukan (2015), Athirah (2016), dan masih banyak lagi telah meramaikan bioskop Nusantara. Terlepas dari pro ataupun kontra di masyarakat isu ini memang menarik untuk diperbincangkan, karena itu saya yakin kedepannya film-film yang mengangkat tentang isu ini akan tetap ada.
Hari ini saya menonton sebuah film pendek berjudul "Family Room" yang disutradarai oleh Ichwan Persada. Ini merupakan film pendek pertama yang disutradarai oleh beliau. Apa hubungannya poligami dengan film Ichwan Persada? Akan saya ceritakan setelah ini.
Film ini menceritakan tentang pasangan suami istri dengan dua anak mereka yang sudah beranjak dewasa. Cerita diawali dengan persiapan memasak yang dilakukan oleh si Ibu karena hari ini keluarga mereka akan berkumpul untuk merayakan usia ke-25 pernikahan mereka.
Sang ayah tampak sekali berusaha menyenangkan istrinya. Membantu mengangkat belanjaan, menawarkan bantuan, dan lain-lain yang sayangnya tidak direspon baik oleh sang istri. Pertanyaan yang dilontarkan selalu dibalas dengan kalimat-kalimat singkat namun cukup menohok.
Saya bertanya-tanya kenapa. Padahal ini kan perayaan 25 tahun pernikahan mereka.Â
Dilansir dari https://www.beritasatu.com ternyata berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susan Shapiro Barash dan dipublikasikan dalam bukunya yang berjudul The Nine Phases of Marriage: How To Make It, Break It, Keep It, usia pertengahan (20-30 tahun pernikahan) Â memang rentan terjadi perceraian. Penyebabnya bermacam-macam, termasuk perselingkuhan.
Dalam kacamata psikologi pun, usia 25 tahun pernikahan merupakan fase krisis terakhir. Mereka yang berhasil mencapai pada fase ini akan menyadari bahwa satu-satunya yang mereka butuhkan saat ini adalah kehadiran pasangan sebagai teman hidup di masa tua.
Kembali ke "Family Room", saya masih bertanya-tanya sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan melalui film ini. Ternyata jawabannya ada di akhir cerita.Â
Benang merah keketusan sikap Ibu, serta perbedaan prinsip yang dimaksud Bapak sehingga perayaan 25 tahun usia pernikahan justru merupakan akhir dari perjalanan kisah cinta mereka baru terlihat ketika muncul tulisan di akhir cerita. Tanpa adanya tulisan ini saya pasti akan terus menebak-nebak apa penyebab sehingga Ibu keukeh memutuskan untuk berpisah.Â
Sebagai wanita saya paham kenapa si Ibu akhirnya mengambil keputusan ini.Â
Sebuah pesan tersirat juga dapat saya tangkap dari beberapa percakapan Ibu dan Bapak melalui kata-kata berjamaah, waktu yang tidak terasa ketika azan berkumandang, serta secara prinsip agama membolehkan.Â
Tapi saya bingung kenapa judulnya family room? Kalau diindonesiakan artinya kan ruang keluarga. Ruang keluarga itu kan sama dengan living room? Sementara dari aktivitas, film ini lebih banyak dilakukan di ruang makan atau dining room. He..he.. terserahlah apa judulnya.Â
"Living Room" bisa ditonton di MAXstream secara gratis sejak tahun lalu dengan kata kunci "30 film pendek."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H