Mohon tunggu...
Titiek Septiningsih
Titiek Septiningsih Mohon Tunggu... Lainnya - IRT yang merangkap sebagai ASN dan mencoba mengasah kemampuan menjadi penulis

5 tahun bergabung di Sekolahalam Bontang (2003-2008). Saat ini mengabdikan diri sebagai ASN di Kota Banjarbaru

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengubah Pola Pikir dalam Menjaga Stabilitas Keuangan

29 Juni 2020   13:42 Diperbarui: 29 Juni 2020   13:50 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak kenal maka tak sayang.

Tak sayang maka tak paham

Tak paham maka tak mau terlibat

Tak mau terlibat maka masabodoh

Kalau melihat dari puisi di atas (itupun kalau bisa disebut puisi), ternyata sifat masabodoh atau ketidakmauan seseorang untuk terlibat dalam suatu aksi salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan (tidak kenal). Hal ini bisa disebabkan karena orang tersebut malas mencari tahu, mendapat informasi yang salah, atau bisa juga karena orang tersebut tidak percaya dengan informasi yang didapatnya.

Buktinya, walau sudah banyak korban berjatuhan akibat Covid-19, yang menganggap Covid-19 sama seperti flu biasa masih banyak.  Aktivitas kumpul-kumpul masih terlihat, orang-orang yang tidak memakai masker masih ada, protokol kesehatan pun kadang masih dianggap angin lalu. 

Tanggapan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 memang beragam. Perbedaan perspektif menyebabkan perbedaan pola pikir. Ada yang menganggapnya tahayul karena ilmu yang bisa dicerna ya hanya sebatas itu. Yang mengerti tentang karakteristik virus, tentu akan menanggapinya dengan cara yang berbeda. Dan yang menganggapnya sebagai konspirasi ya wajar juga karena ilmunya sudah sampai ke sana. Perbedaan latar belakang pendidikan, pekerjaan, keluarga, hobby, jumlah media yang dibaca/ditonton, dll sedikit banyaknya turut mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Apapun tanggapan masyarakat terhadap pandemi ini, satu hal yang pasti adalah dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari money.kompas.com, Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan lalu menyatakan perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh sebesar 2,97. Walau realisasinya lebih rendah bila dibandingkan dengan kuartal IV-2019 dan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun lalu, tapi bila dibandingkan dengan negara lain yang pertumbuhan ekonominya negatif, angka ini cukup melegakan.

Tentunya hal ini tidak terlepas dari kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. 

Apa sih kebijakan makroprudensial itu ?

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi (Twitter Bank Indonesia). Wah...pengertiannya terlalu teoritis ya. Makroekonomi. Mikroekonomi. 

Lain kali, Bank Indonesia mungkin harus memberi pengertian yang tidak hanya bisa dipahami oleh ekonom, tapi juga orang awam. 

Gampangnya begini, seluruh upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas sistem keuangan disebut kebijakan makroprudensial. Apa saja? Ya macam-macam. Bisa dengan menaikan/menurunkan suku bunga acuan, penambahan likuiditas untuk meningkatkan pembiayaan perbankan, pelonggaran rasio uang muka terhadap aset properti, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dll.

Memangnya kenapa kalau sistem keuangan tidak stabil?

Masih ingat krisis tahun 1998? Saat itu nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar, akibatnya banyak pihak berspekulasi dengan mengalihkan investasinya ke mata uang dollar untuk mendapatkan selisih konversi yang sangat tinggi. Selain itu juga terjadi penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush), termasuk para investor sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas. Semua itu terjadi karena ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang ada. 

Ilustrasi : Shutterstocks
Ilustrasi : Shutterstocks

Sudah tahu kan kalau bank merupakan unit usaha yang memiliki ketergantungan sumber dana dari masyarakat dalam operasionalnya? Ketidakstabilan sistem keuangan menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat pada perbankan. Akibatnya terjadi kegagalan pada sistem perbankan yang akan berimplikasi kepada perekonomian Indonesia.

Komunikasi yang efektif menjadi hal yang penting dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan publik. Komunikasi yang efektif dapat membuat transmisi kebijakan Bank Indonesia  dapat diterima oleh semua pihak, baik investor, dunia usaha, maupun masyarakat. Komunikasi efektif juga membuat informasi yang diterima masyarakat tidak setengah-setengah yang mengakibatkan gagal paham.

Apakah menjaga Stabilitas Sistem Keuangan hanya tugas Bank Indonesia?

Secara teori iya. Tapi, sebenarnya kita pun dapat turut berpartisipasi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. 

Bagaimana caranya?

Sebelum menjawab ini, masih ingat enggak dengan unggahan di media sosial yang sempat viral di awal-awal pandemi?

Tentang curhat seorang karyawan swasta yang memiliki gaji dua puluh juta per bulan dan hanya dibayar separuhnya selama pandemi. Sementara yang bersangkutan harus membayar cicilan mobil 4,5 juta per bulan, cicilan KPR lima juta per bulan. Sehingga penghasilannya hanya tersisa 500 ribu.

sumber : media sosial
sumber : media sosial

Apa yang bisa dipelajari dari hal ini? Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan keuangan kita di masa depan, karena itu menyediakan "payung" dengan mengelola semua aset yang dimiliki dengan lebih teratur dan terencana. Misalnya : untuk keperluan sehari-hari kita menginvestasikan dengan menabung di tabungan reguler. Untuk keperluan jangka panjang, seperti pendidikan anak kita bisa menggunakan deposito atau tabungan pendidikan. Demikian pula bila ingin naik haji, berkurban, dll. 

Perlu diingat, sistem keuangan terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan perekonomian. Jadi, rumah tangga juga termasuk dalam sistem keuangan.

Umumnya, dalam keadaan "nyaman", perilaku konsumtif rumah tangga akan meningkat, termasuk pertumbuhan kredit yang berakibat pada tingginya tingkat hutang masyarakat. Dalam contoh unggahan viral di atas, terlihat bahwa total cicilan per bulan hampir 50% dari total pendapatan. Itu baru cicilan besarnya lho. Biasanya masih ada cicilan-cicilan lain (baca kredit) yang jumlahnya tidak seberapa namun jika ditotal jumlahnya cukup fantastis.

Pengaruhnya apa dengan sistem keuangan? 

Peningkatan gagal bayar akan memicu terjadinya peningkatan kredit bermasalah (NPL) pada industri perbankan.  Hal ini tentu akan berpengaruh pada kestabilan ekonomi.

Terakhir nih, yang dapat kita lakukan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan adalah dengan bijak bermedia sosial. 

Apa hubungannya media sosial dengan stabilitas sistem keuangan?

Satu kata yang dapat menggambarkan hubungan media sosial dengan stabilitas sistem keuangan adalah informasi. Informasi dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Bila informasi yang diterima oleh masyarakat banyak yang merupakan berita bohong (hoaks) dapat berimplikasi pada menurunnya kredibilitas institusi atau lembaga keuangan. 

Masih ingat dengan berita hoaks tentang logo palu arit dalam uang kertas pecahan Rp. 1000 hingga Rp. 100.000? Atau berita yang menyebutkan beredarnya uang palsu NKRI.  Atau berita tentang adanya uang pecahan Rp.200.000. 

Coba bayangkan apa yang terjadi kalau berita ini sampai dipercaya oleh publik? Mungkin pada takut kali ya menggunakan uang NKRI. 

Daripada menyebarkan berita hoaks, lebih baik kita membantu pemerintah dalam menyebarkan kebijakan pemerintah di sektor keuangan terutama yang berkaitan dengan penanganan dampak Pandemi Covid-19. Betul nggak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun