Mohon tunggu...
Titi Ariswati
Titi Ariswati Mohon Tunggu... Penulis - Puisititi untuk sahabat sejati

Jemari menari tebar asa suci menuju mulia hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Kecilku

18 Desember 2023   08:35 Diperbarui: 18 Desember 2023   08:43 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul : Malaikat Kecilku

Tepat satu bulan aku kehilangan anakku. Kepedihanku tak akan hilang sepanjang hidup yang akan datang. Kehilangan ini sangat menyakitkan. Air mata tak bosan-bosannya mengalir tiada henti.

Hari ini aku kembali bekerja setelah meminta cuti panjang. Kukuatkan hati menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa aku masih butuh makan untuk meneruskan hidup. Aku tidak mau bunuh diri dengan menganggur tanpa penghasilan untuk makan sehari-hari.

Aku seorang kasir di toko roti yang terkenal laris. Gajiku hanya cukup untuk makan. Selama anakku sakit hidupku sungguh pahit. Biaya berobat anakku membuatku harus berhutang kepada pemilik toko. Aku harus berhemat agar bisa tetap makan dan ongkos angkot ke rumah sakit. Meski pahit aku tetap semangat dan bahagia di tengah kesusahan karena ada anak perempuan cantik buah hatiku. Malaikat kecil penyemangat hidupku.

Hari pertama bekerja, kepedihanku sedikit terlupakan. Pengunjung begitu ramai, banyak pemasukan, ada harapan dapat bonus yang bisa menutupi kekurangan karena gaji dipotong cicilan hutang.

Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore. Aku bersyukur selesai sudah pekerjaan. Kuselonjorkan kaki ke bawah meja. Punggung kutempelkan di sandaran kursi. Maasyaallah nyaman sekali,  sedikit terkurangi rasa lelah.

Sambil menarik napas panjang, kupejamkan mata sejenak. Tiba-tiba terlintas bayangan pemulung kecil yang membeli roti dengan uang yang kurang. Aku merasa bersalah tidak bisa menutupi kekurangannya. Saat itu aku tidak punya uang serupiah pun.

Kuhalau bayangan anak itu dengan membuka mata dan kembali duduk tegak.  Kubersihkan meja kasir, lalu berdiri mengambil tas yang tersampir di kursi lalu melangkah pulang.

Aku tidak terburu-buru, tidak ada lagi yang menungguku. Malaikat kecilku telah pergi jauh tak akan kembali.

"Mbak, mau pulang?" basa-basi petugas keamanan berdiri menyapaku.

"Ya. Kan sudah habis jam kerja." Aku tersenyum mendekatinya.

"Lama juga Mbak, cutinya kemarin." Aku menerima uluran tangannya.

"Ikut berduka cita Mbak."

"Terima kasih." Aku  tersenyum menerima rasa simpatinya.

"Mari Mbak, duduk dulu. Saya buatkan kopi
ya?" Dia mengangkat kursi, diletakkan di luar pos satpam.

"Tidak usah, aku nggak minum kopi." Aku menghargainya yang telah mempersilakan aku duduk. Tak ada salahnya  bersantai sejenak menemaninya ngobrol setelah seharian tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

"Mas, anak kecil yang dulu ngutang roti, gimana kabarnya, apa sudah bayar?" Aku kembali teringat bayangan pemulung kecil itu.

"Nggak Mbak, kan dia bawa rotinya, jadi aku kejar, kulaporkan ke Polisi."
"Apa? dilaporkan ke Polisi?" Aku terkejut.
"Ya, kan mencuri namanya, dia masuk tahanan." Dengan entengnya si Satpam bercerita.

Hati terasa tidak nyaman. Kesedihan menyergap hidupku kembali. Aku menyesal tidak dapat membantunya waktu itu.  Anak sekecil itu dituduh mencuri, lalu di tahan. Tragis sekali nasibnya.

Tubuhku ambruk di kasur tanpa terbasuh air. Dada yang sesak, air mata yang membanjir membuat kepalaku sangat sakit ditambah tanganku yang meremas-remas rambut dan menariknya untuk mengurangi rasa sakit tetapi tambah sakit.

"Mami, Caca minta hadiah ya, besok kan ulang tahun." Malaikatku menggelayut manja mengalungkan tangannya ke leherku.

"Benarkah besok ulang tahun Caca? Mami lupa." Kupeluk putri kecilku dengan erat, kuciumi pucuk kepalanya.

"Ih Mami jahat. Kenapa sampai lupa? Caca minta hadiah kue coklat yang banyak. Biar bisa bagi-bagi untuk teman-teman."
Caca balas memelukku erat.

Bunyi pukulan yang keras di tiang listrik membangunkanku. Ya Allah, aku bermimpi. Masih terasa pelukan hangat anakku. Ada kehangatan mengaliri hatiku. Meski hanya mimpi yang terasa nyata, ternyata aku telah bertemu anakku.  

Pagi ini aku bersemangat menuju tempat kerja. Aku akan meminta ijin kerja setengah hari untuk menemui pemulung kecil di tahanan. Akan kubawakan roti coklat sesuai pesanan Caca dalam mimpi.

Jam istirahat aku berangkat menuju kantor polisi tempat pemulung kecil ditahan sambil menenteng kotak roti.

"Namanya Neila Bu. Sudah tidak ditahan. Waktu itu ibunya menggantikan dia, karena yang menyuruh mencuri roti itu ibunya. Tetapi tidak lama, karena jatuh sakit dan meninggal." Penjelasan yang menusuk jantungku.

Air mata tak bisa kubendung. Tak punya malu aku menangis di depan Pak Polisi.
Pak Polisi menyodorkan tisu, aku mengambilnya beberapa kali untuk menghapus air mata yang membanjir tak mau berhenti.

"Kalau boleh minta alamat Neila, Pak." Aku bertekad untuk mencari pemulung kecil yang ternyata bernama Neila.

Dengan dibantu teman Neila, aku menemukannya sedang meringkuk di tanah beralaskan tikar yang compang camping. Tubuh ringkihnya menggigil dan panas.

"Neila." Kupanggil namanya sambil kuelus pundaknya, tak ada jawaban.

Kuangkat Neila kepangkuanku, kudekap erat. Ya Allah jangan kau utus malaikat mengambil Neila. Dia pengganti malaikat kecilku. Biarkan aku memilikinya.

Wajah pucat yang dekil aku ciumi dan kubasahi dengan air mata.

Dengan membonceng ojek online, kubawa Neila ke tempat praktek dokter.
Hatiku diremas cemas.

"Maaf, boleh langsung masuk? anak saya demam tinggi." Aku memohon kepada petugas pendaftaran.

Dengan sigap gadis itu membukakan pintu ruang periksa. Kebetulan tidak ada pasien yang mengantri.

"Anak ini sakit sudah lama, kenapa baru dibawa ke sini?" dokter menegurku.

"Maaf dok." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Anak Ibu kurang gizi. Saya kasih obat dan vitamin. Kasih dia susu dan telur, makan tiga kali sehari dengan lauk yang bergizi.  Jika tiga hari belum sembuh, langsung dibawa ke rumah sakit ya, Bu, agar mendapat pemeriksaan lengkap."

"Baik dok, terima kasih," Aku terima secarik kertas bertuliskan resep dokter.

Neila tak lagi pucat setelah mendapat suntikan dari dokter, panasnya pun menurun. Sambil menunggu obat di ruang farmasi, Neila kuberi minum  susu kotak.

Sesampainya di rumah, kuseka tubuh Neila dengan air hangat. Kubaluri badannya dengan minyak kayu putih. Pakaian dekilnya aku ganti dengan  baju Caca, pas di badannya.

"Terima kasih, Bu." Neila tersenyum lemah.

Kupeluk Neila erat. Aku bahagia bisa menolongnya. Pengganti malaikat kecilku.
Hatiku menghangat, hidupku bersemangat lagi.

"Cepat sehat ya, sayang." Kubaringkan Neila di tempat tindur dan kuselimuti  setelah makan dan minum obat.

Aku tersenyum memandang wajah Neila yang ayu, lalu merebahkan diri di sampingnya.  

Terinspirasi dari cerpen dengan judul Roti Coklat untuk Bunda.
 Nama penulis : Intan Mairiza Putri

Cerita ini ditulis sebagai partisipasi dalam sayembara cerpen pulpen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun