"Sejak kapan kamu doyan bakso?" Wiwi memasang wajah penasaran.
"Ya sejak dulu lah, kan bakso ikan," Aku tertawa lagi melihat bibirnya yang membentuk huruf O.
*
"Aku belum transfer, belum sempat." Begitulah pesan Wiwi menanggapi status daganganku.
"Ya, nggak apa-apa, santai saja," balasku. Wiwi menjadi pelanggan setiaku sejak aku berjualan produk kesehatan. Wiwi cocok dengan beberapa varian dan selalu mengulang pesanan.
"Besanku tiba-tiba meninggal, setelah badannya menggigil." Kata Wiwi ketika meneleponku. "Aku sibuk bantu-bantu Ratih terima tamu, banyak banget tamunya." sambungnya. Ratih adalah anak perempuan Wiwi nomor dua. Anak pertamanya bernama Ratna, seorang apoteker bersuamikan polisi.
"Ratna juga masih repot, aku lupa nggak suruh transfer,"
"Ya, jaga kesehatan, jangan kecapean." Â Aku malah lebih khawatir jika Wiwi sampai jatuh sakit. Membayangkan banyaknya pelayat di rumah besannya, seorang pemilik pesantren di Banjarnegara, tentu butuh tenaga ekstra melayani tamu berhari-hari.
"Besanku seumuran kakak kita, belum terlalu tua," Wiwi menceritakan besan laki-lakinya yang baru meninggal. "Sakitnya macam-macam, kalau lagi enak badan, pergi ke kebun, setelah itu sakit lagi," suara Wiwi di telepon cukup diwarnai kebisingan, karena banyaknya orang.
"Ya, kita siap-siap, sudah enam puluh lebih. Semoga husnul khatimah." Aku menanggapi.
"Jangan, aku nggak mau mati dulu. Masih cari sangu." suaranya terdengar panik. Aku jadi merasa kasihan.