"Kenapa nggak dikasih obat penghilang rasa sakit?" Aku protes.
Waktu duhur sudah makin menipis. Kupaksa diriku bangun. Tangan kanan terasa sakit karena punggungnya dihuni jarum infus. Tangan kiri melepas botol infus dari cantolannya, kubawa ke kamar mandi.
Mengambil air wudu sebisanya, karena tidak ada kran air selain di atas bak. Memasang slang plastik ke kran air yang ada di atas bak, sungguh repot. Slang harus ditimpa gayung yang dipenuh air dahulu agar tidak masuk lagi ke bak.
Dengan tangan kiri membasuh wajah, mengusap kepala dan membasahi tangan sampai siku. Beginilah lemahnya manusia, diberi ujian sedikit, tidak dapat melakukan sesuatu dengan sempurna.
Ternyata aku tidak bisa sujud. Sungguh sakit perut yang kena jahit. Sujudku hanya membungkuk.
Ampun ya Allah, sampai kapan ini?
Aku kembali berbaring. Oya, mungkin sakit kepalaku karena masuk angin juga. Dari semalam sudah puasa. Setelah sadar dari obat bius, belum juga dapat jatah makan.
Aku ingin makan untuk mengusir sakit kepala. Tak lama kemudian  Petugas konsumsi mengantar satu baki nasi dan lauk pauk. Dengan mengucap bismillah aku lahap semua yang tersaji. Sungguh nikmat makan dalam kondisi lapar. Alhamdulillah, bersyukur atas rizki yang diharapkan dan langsung datang.
Menjelang sore, sakit kepala belum kunjung hilang. Obat dari bagian farmasi belum siap. Perawat datang menyuntikkan beberapa obat ke slang infus. Suntikan terakhir dimasukkan dengan mempercepat tetesan infus. Setelah itu jarum infus dicabut. Alhamdulillah sudah terbebas dari jeratan jarum. Persiapan pulang, tinggal menunggu obat yang diminum.
Sang Raja mengemasi barang bawaan dan mengecek jangan sampai ada yang tertinggal.
Menjelang Maghrib aku tinggalkan rumah sakit, kembali hanya untuk kontrol seminggu kemudian, jangan sampai menginap lagi.
Aku kirim foto hasil pemeriksaan ke anakku melalui warshap.
"Ini kode 'S' nggak apa-apa Bu, tumor biasa. Kalau nggak salah jika 'C' itu cancer." Begitu balas anakku setelah meneliti foto yang kukirim.