Mohon tunggu...
AY_Satriya Tinarbuka
AY_Satriya Tinarbuka Mohon Tunggu... profesional -

Mahasiswa abadi jurusan Filsafat Sastra Mesin di kampus kehidupan ... :D

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kompasiana dalam Pusaran AFTA

24 Februari 2014   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlebih lagi, kita bukan bangsa yang dibangun dengan kultur persaingan, melainkan kekeluargaan. Kekeluargaan bisa ditempatkan dalam artian positif ataupun negatif. Negatifnya adalah kekeluargaan ala mafia. Dan kita sering disuguhi berita tentang bagaimana ulah mafia ini beraksi mengatur kebijakan negara, bukan?

Rendahnya kultur persaingan alias kompetisi juga bisa dilihat dari kasus contek-mencontek Ujian Nasional. Tak tanggung-tanggung, ada orang tua yang memfasilitasi anaknya mencontek demi lulus Ujian Nasional. Bahkan ada guru yang melakukannya. Lhadhalah ...

Bahkan para caleg yang bener-bener paham bahwa kampanye engga boleh pakai uang, tetap saja melakukan praktik politik uang. Tentu saja motivasinya adalah memenangkan pemilu tanpa peduli apakah dirinya kompetitif ato engga.

Lalu pilihannya, apaka kita akan memanfaatkan semangat kekeluargaan atau akan menggantikannya dengan semangat kompetisi?

Jika memilih memanfaatkan semangat kekeluargaan, maka pilihlah bidang usaha andalan yang membutuhkan karakter kekeluargaan dalam artian positif. Sepanjang pengetahuan saya, bidang usaha tersebut adalah PARIWISATA.

Satu hal lagi, tenaga kerja Indonesia kalah produktif dibanding Malaysia, begitu kata McKinsey. Tapi tenaga kerja Indonesia memiliki kemampuan khusus yang sulit disaingi bangsa lain, yaitu kemampuan membuat kerajinan. Nah, klo Pariwisata kawin dengan Industri Kerajinan, maka akan menjadi pasangan serasi, bukan?

Cukup sekian tulisan saya. Saya tidak bermaksud menggurui karena latar belakang pedidikan bukan ekonomi. Saya hanya menyampaikan sudut pandang yang mungkin jauh berbeda dengan para pakar yang sudah banyak belajar tentang ekonomi. Setidaknya mencoba seperti Thomas Alva Edison. Edison tidak memiliki pendidikan fisika yang memadai, tapi sudut pandangnya terhadap fenomena fisika membuat ia menemukan bola lampu listrik.

Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan gaya Jack Soetopo: Salam #Thinkabovethesystem

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun