MinyaKita, Benarkah Milik Kita?
Oleh : Meyda Perfik N
Kenaikan harga MinyaKita baru-baru ini telah menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Berdasarkan informasi yang tersedia, HET (Harga Eceran Tertinggi) untuk MinyaKita resmi dinaikkan menjadi Rp 15.700 per liter. Langkah ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menyebut kenaikan tersebut tidak masuk akal mengingat Indonesia adalah salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Kritik ini tentunya bukan tanpa alasan. Indonesia, sebagai produsen utama minyak kelapa sawit, seharusnya memiliki keunggulan dalam menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau bagi masyarakatnya. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Kenaikan harga ini mencerminkan adanya salah kelola dalam sistem distribusi dan ekonomi yang diterapkan saat ini. Penguasaan distribusi oleh perusahaan swasta yang memperpanjang rantai distribusi menyebabkan harga semakin mahal dan tidak pro rakyat.
Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan kembali peran negara dalam mengatur dan memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini tampaknya kurang mampu memberikan solusi yang berpihak pada rakyat. Negara seharusnya berperan aktif dalam distribusi kebutuhan pokok, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
Islam memandang pemenuhan kebutuhan pokok sebagai tanggung jawab negara. Dengan berbagai mekanisme sesuai syariat, negara dalam sistem ekonomi Islam akan memastikan bahwa minyak goreng dapat diakses dengan mudah dan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.Â
Negara menjadi pengendali utama distribusi, sehingga tidak ada pihak yang bisa memonopoli dan memainkan harga di pasar. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad shalallahu alayhi wasallam:
 "Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sejarah Islam, terdapat banyak contoh penerapan prinsip-prinsip ini. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, salah satu kebijakan yang terkenal adalah pembentukan Baitul Mal, semacam badan keuangan negara yang bertanggung jawab untuk mengelola dan mendistribusikan kekayaan negara demi kesejahteraan rakyat.Â
Umar sangat tegas dalam memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya, dan ia tidak ragu untuk mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang mencoba memonopoli atau menaikkan harga secara tidak adil.
Khalifah Umar juga dikenal dengan kebijakan distribusi bahan pangan yang adil dan merata. Misalnya, ketika terjadi kelaparan di wilayah Madinah, Umar langsung turun tangan memastikan distribusi gandum dan bahan pangan lainnya kepada masyarakat yang membutuhkan. Beliau juga mencontohkan pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan bertanggung jawab demi kepentingan umum, bukan untuk keuntungan segelintir orang.
Penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sumber daya alam seperti minyak kelapa sawit diyakini dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, negara akan mengambil peran sentral dalam mengatur distribusi kebutuhan pokok, memastikan ketersediaan dan kestabilan harga, serta menghilangkan praktik monopoli yang merugikan rakyat.
Secara keseluruhan, penerapan sistem Islam dalam pengelolaan ekonomi dan distribusi kebutuhan pokok dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah kenaikan harga MinyaKita. Dengan negara sebagai pengendali utama, kesejahteraan rakyat dapat tercapai, dan kebutuhan dasar seperti minyak goreng dapat diakses dengan mudah dan harga yang terjangkau oleh seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H