Dari sisi ekonomi, hilirisasi nikel ternyata tidak memberi manfaat besar bagi negara dan rakyat. Jika kita mengira negara akan mendapat untung besar dari hilirisasi nikel sebagaimana yang diklaim Presiden Jokowi, maka itu hanya ilusi. Pada faktanya, yang mendapatkan keuntungan terbesar itu adalah para investor (asing) dan oligarki.
       Presiden Jokowi mengatakan bahwa dengan hilirisasi bijih nikel menjadi produk ekspor akan memberi nilai tambah 10 kali lipat. Ini hanya klaim saja karena ternyata mayoritas produk puluhan smelter Cina di Indonesia hanyalah hasil pemurnian yang menghasilkan barang setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hidroxite, serta sedikit hasil "forming" berupa stainless steel. Karena masih jauh dari siap pakai, produk-produk ini diekspor ke Cina untuk proses fabrikasi. Sesuai target yang ingin diraih Cina, proses hilirisasi maksimal hingga mencapai nilai tambah 19 kali yang merupakan target ideal, hanya terjadi di Cina. Hasil produk hilirisasi di Cina ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk diimpor kembali ke Indonesia sebagai bahan jadi.
       Cina sebagai negara investor terbesar dalam industri tambang nikel ini memiliki peran yang dominan dalam menentukan level hilirisasi yang dapat diraih Indonesia. Cina mendikte Indonesia sesuai target produk akhir yang diinginkan, teknologi dan pasar yang dikuasai, serta dana yang dimiliki. Jika pemerintah mengikuti kemauan Cina dengan mengeluarkan sejumlah regulasi yang menguntungkan Cina, nilai tambah yang diperoleh Indonesia hanyalah sekitar 3-4 kali saja, bukan 10 kali lipat seperti yang diumbar oleh Presiden Jokowi. Nilai ini telah dikonfirmasi oleh LPEM-UI (2019).
       Ternyata nilai tambah 3-4 kali yang sudah rendah ini pun sebagian besar tidak masuk menjadi pajak atau PNBP, tetapi justru lebih banyak dinikmati Cina dan oligarki. Para investor smelter memperoleh berbagai insentif dari pemerintah Indonesia, baik berupa fiskal maupun non fiskal. Insentif tersebut diberikan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Insentif fiskal berupa pemberian royalti nol persen dan berbagai insentif perpajakan, seperti fasilitas bea impor, tax allowance, dan tax holiday.
Oleh karena itu, penerimaan negara dari keuntungan hilirisasi nikel menjadi sangat minimalis. Negara diperkirakan hanya mendapat pemasukan dari pembayaran PBB dan iuran tetap yang jumlah sebenarnya sama besar dengan pemasukan tanpa program hilirisasi, sehingga secara keseluruhan diperkirakan negara hanya akan memperoleh pemasukan sekitar 10 persen saja. Keuntungan terbesar justru dinikmati investor Cina dan oligarki kekuasaan.
Sistem Kapitalisme Tidak Berpihak Kepada Rakyat
       Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kebijakan hilirisasi nikel adalah kebijakan yang menguntungkan asing dan oligarki. Rakyat bukanlah penerima manfaat terbesar SDA nikel nasional. Keberadaan penguasa hanya sebagai regulator bagi para investor dengan mengeluarkan berbagai regulasi agar penguasaan nikel di Indonesia menjadi legal berdasarkan undang-undang. Regulasi merambah hampir seluruh lini industri nikel, mulai dari hulu hingga hilir. Dan ini bisa terjadi karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme.   Â
Selama sistem kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, kekayaan negeri ini akan terus dieksploitasi demi kepentingan asing dan oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat. Perlu ada perubahan sistem untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, termasuk di dalamnya nikel, agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yakni dengan menerapkan sistem Islam yang berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebaik-baik pembuat aturan.
Pengelolaan Tambang dalam Islam
Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan bumi dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia. Di antaranya dengan menetapkan aneka bahan tambang dengan deposit berlimpah sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu, tambang dan industri tambang, termasuk di dalamnya smelter dan berbagai fasilitas pengelolaan barang tambang, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu, oligarki maupun swasta lokal/asing. Negara hanya diperkenankan mengelola tambang untuk dikembalikan dalam kemanfaatan yang besar bagi rakyat. Negara melakukan ini semua karena negara bertanggung jawab atas pengurusan dan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan sabda Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam, "Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad)