Dadaku berjalan cepat. Tanganku sedikit bergetar. Maklum, hari pertama. Aku sangat perlahan karena tak ingin membuatnya sakit. Namun seperlahan apapun tetap saja dia kesakitan. Kubuka kembali kain putih berjaring itu perlahan.
Sebuah luka berwarna merah dengan lima benjolan kecil. Cairan darah mengucur. Embun hangat pun menyapa tangan dan wajahku.
Kuusapkan kasa lembab yang dijepit pinset di atas luka yang menganga. Kuganti dan kuusapkan kembali mengelilingi daging merah itu. Sesekali dia menggigit kain menahan nyeri. Kubersihkan sambil mulut tak henti berbicara, walau kelebihanku adalah telinga, sebenarnya.
Aku bertanya ke sana kemari. bercerita dari 'Sabang sampai Merauke kadang berlari ke kutub'. Coba kulakukan untuk mengalihkan rasa nyeri saat kubersihkan lukanya, juga untuk mencairkan kebekuan diantara kami. Entah apa yang menyebabkan kebekuan kami sedikit cepat mencair dihari pertama.
Perlahan dia sibakkan kabutnya. Ia coba singkirkan awan mendung itu. Aku tahu ingin sekali ia tumpahkan hujan dari matanya, namun ia simpan rapat-rapat agar tidak turun. Matanya mulai berkaca-kaca.
Sebenarnya ingin kukatakan, "Tidak apa-apa... Jika menangis bisa mengurangi sedikit beban yang dirasa maka menangislah." namun aku mengerti, di ruangan itu terdapat 5 orang lainnya dan ia tidak ingin mereka mengetahui itu. Mungkin ia lakukan dalam sunyi atau dalam hati saja.
Kembali kami menikmati ribuan huruf yang mengalir begitu saja sampai sebuah petir itu menyambar telingaku, "Sayamah lebih baik mati dari pada kaya ginimah, sus. percuma hidup juga." dengan mendung yang kembali menghiasi wajahnya. "lebih baik mati...".
Teoriku memahami, jika dia tidak bangun saat itu, maka dalam sebuah dimensi waktu yang tak terukur dia akan semakin jatuh dalam lubang yang sangat kelam. Ya, putus asa akan membawanya pada sebuah depresi dan jika tidak segera diintervensi akan beresiko pada hal yang lebih jauh. Mungkin tidak saat itu namun berwaktu. Mendengarnya, tenggorokanku tercekat. Semua samar. Tak bisa ku abaikan namun dia tak memberiku ruang saat itu.
Dalam diam, dalam perjalanan pulang, kata-kata itu terus terngiang. "lebih baik mati...".
Materi Psikologi dan keperawatan Jiwa yang tersimpan entah dalam laci keberapa dari otakku coba kubuka dan kucari sebuah jawab. Namun masih diam yang kuperoleh.
Dan terus kuperas 'galaksi bimasaktiku' berharap kutemukan sebuah rasi bintang. Kucari jalan agar dia kembali semangat. Dibuka semua referensi, text book walau tidak tahu apa yang kucari dan kutahu bukan itu jawabnya. Aku hanya berharap menemukan sesuatu, entah apa. Mungkin sebuah bintang yang terang.