"Yang muda yang memimpin, yang muda yang berbicara."
Slogan boleh berkata begitu. Tetapi saya, sebagai orang yang boleh dikata muda, selama ini hanya mampir melihat-lihat postingan-postingan yang asyik di Kompasiana.
Dan kini saya mencoba untuk gantian memberikan sesuatu, setelah sekian lama saya hanya berani melongok.
***
Sebagai seorang siswa SMA Negeri, bisa ditebak, kehidupan saya hanya berputar di sekitar keluarga, teman, dan sekolah. Tapi, tak sedikit hal menarik yang saya alami. Seperti kata-kata guru saya yang satu ini. Patut disimak, dan menghilangkan kantuk (yang membuat saya ingin tidur) di tengah siang bolong itu.
"Anak-anak, bapak harap kalian semua jangan ikut bimbel (bimbingan belajar)."
Nada-nada protes dan bingung menyeruak di tengah kelas yang asalnya hening. Kata orang Sunda, kawas goong katincak. Banyak pertanyaan yang menguar di udara, desas-desus, hingga gossip miring. Salah satu teman saya bahkan bilang, "Si Bapak ingin kita les di sekolah saja mungkin. Biar dapat tambahan duit."
Dan guru yang satu itu seolah menikmati aroma-aroma kebingungan di kelas. Setelah sedikit mereda, beliau pun menjelaskan semuanya. Jelas, hingga tak ada satupun dari kami membantah.
Menurut beliau, bimbel itu yang meningkatkan persen mahasiswa drop out dari tahun ke tahun. Bimbel menawarkan proses cepat, rumus singkat, yang mengubah pola pikir siswa menjadi instan. Menjadi hal yang sangat mungkin seorang siswa lolos Ujian Nasional dan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan mudah, walaupun taraf kemampuan yang sebenarnya tidak memadai.
Terhenyak di tempat duduk masing-masing, aku dan teman-temanku masih mendengarkan beliau dengan serius. Ada hal lain yang belum kami ketahui, rupanya.
Dengan air muka tenang, beliau melanjutkan. Masih menurut beliau, bimbel itu memanfaatkan kepanikan yang menelisip pelan-pelan di benak orang tua dan siswa. Sadarkah kita bahwa kita sudah dirasuki roh paham: "Tak ikut bimbel=kegagalan!" Ketakpercayaandiri berkembang di nurani generasi calon pemimpin kita. Diburu, merasa tak aman, walau kemampuannya memadai, tak sedikit anak yang boleh dikata pintar, ikut bimbel juga. Sementara permintaan makin meningkat, harga pun makin menjulang. Belasan juta dikeluarkan orang tua hanya untuk mendapat jaminan anaknya diterima di perguruan tinggi favorit. Padahal, yang didapat si anak tak lebih dari sebuah cara instan yang merusak logika proses berpikirnya.
Yang lebih parah lagi, kata beliau, kalau paradigma masyarakat berubah, bergeser, ke arah yang berbahaya, yaitu: "Pengajaran di bimbel lebih baik daripada di sekolah." Seperti yang kita ketahui, sekolah merupakan instrumen utama pendidikan di negeri kita. Kalau sudah bergeser begini, lalu bagaimana? Seorang anak bersekolah hanya untuk mendapatkan skor tertinggi di kertas tanda kelulusan? Hanya agar logika prosesnya dibudaki oleh cara cepat nan instan?
Mungkin, bagi anak yang kurang dalam menangkap pelajaran di sekolah dibutuhkan tambahan. Dan itulah tujuan awalnya bimbel dibuat. Tapi, guru saya yakin, bukan dengan bimbel anak tersebut bisa menjadi mengerti. Banyak hal lain.
Saya dan teman-teman saya sendiri lebih senang mengisi waktu sepulang sekolah dengan berdiskusi. Apapun, tentang hal yang kami ingin diskusikan. Dari mulai tren, film, hingga tugas matematika. Belajar bersama teman jauh lebih menyenangkan, dibandingkan diceramahi guru dari pagi pukul tujuh hingga sore pukul enam, belum pekerjaan rumah yang menggunung-gunung seperti Gunung Krakatau.
Cara yang lebih efektif lagi adalah menanyakan langsung ke gurunya. Sudah merupakan kewajiban bagi seorang guru untuk menjawab pertanyaan hingga siswanya mengerti. Beliau bilang, siswa-siswa sekarang cenderung menunggu waktu bimbel mereka untuk menanyakan segala sesuatu yang tak dimengerti. Lalu kalau begitu, apa fungsi guru di sekolah?
Siang itu, kami berdecak-decak, kagum dibuat beliau. Penjelasan panjang beliau yang melawan pandangan umum yang beredar di masyarakat dilanjutkan kata-kata penutup sebelum bel berbunyi, "Bapak percaya kalian bisa. Tanpa bimbel, tanpa rumus instan. Hanya dengan usaha dan doa. Dan untuk usaha, kita lakukan bersama-sama."
Padahal angka XI besar tercap di wajah kami. Masih ada satu setengah tahun bagi kami untuk merisaukan ujian-ujian itu. Tapi yang saya tahu, beliaulah sosok guru yang seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H