Apakah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat dipertanggungjawabkan oleh orang lain?
Pertanyaan tersebut ditujukan pada vicarious liability pada dasarnya untuk menjawab. Vicarious liability dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “liability that a supervisory party (such as an employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or associate (such as an employee) based on the relationship between the two parties.” (Pertanggungjawaban dari suatu pihak supervisor (seperti seorang majikan) yang dikenakan atas perbuatan dari bawahannya atau asosiasinya (seperti seorang pegawai) oleh karena hubungan antara kedua belah pihak).
Kemampuan bertanggungjawab ditentukan dari dua hal, yakni akal dan kehendak. Dimana dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk atau dilarang, sedangkan kehendak atau keinginan mewujudkan kesadaran atau keinsyafan atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya (Raymond Joshua Marudut Sibarani, 2016). Kemampuan bertanggungjawab ditentukan dari dua hal, yakni akal dan kehendak. Dimana dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk atau dilarang, sedangkan kehendak atau keinginan mewujudkan kesadaran atau keinsyafan atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya (Sari, 2023).
Menurut Barda Nawawi Arief, Vicarious Responsibility juga diartikan Sebagai pertanggung jawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrong ful acts a / another). Secara singkat sering diartikan "pertanggungjawaban pengganti". Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada urnumnya terbatas pada kasuskasus yang Menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian Vicarious Responsibility ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan (Nurindah Sari, 2024).
Menurut Undang-Undang (statute law), Vicarious Responsibility dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
- Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle).
- Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan itu dipandang sebagai perbutan majikan.
Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 ahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Vicarious lialibility berlaku dalam UU tersebut. Ketentuan Vicarious liability secara tersirat terdapat pada Pasal 116 ayat (2) UU PPLH, bahwa “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”
Tindak pidana lingkungan hidup sebagaiamana yang dimaksud pada ayat (1), yaitu tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
- badan usaha; dan/atau
- orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut
Kata “dilakukan oleh orang”, merujuk pada perbuatan yang dilakukan oleh subjek orang (natural person). Orang di sini bisa sebagai seorang karyawan suatu korporasi. Asas vicarious liability dapat berlaku apabila perbuatan yang dilakukan orang tersebut berdasar atas hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin (superior).
Sehingga perbuatan seseorang dapat dilakukan pertanggungjawaban pengganti apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Berdasarkan teori vicarious liability ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan konsepsi yang muncul dari sistem hukum “common law”, yang disebut sebagai “respondeat superior”, yaitu tanggung jawab sekunder yang muncul dari “doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya dengan “vicarious liability”, Peter Gillies membuat beberapa pemikiran sebagai berikut :(Rodliyah et al., 2021)
- Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.
- Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
- Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Perlu dikemukakan bahwa doktrin ini dapat berlaku dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang atau“the delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “mens rea” atau “a guilty mind” dari karyawan dapat dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut Undang-undang.
Dapat disimpulkan bahwa, Ketentuan Pasal 116 UU PPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 118 UU PPLH ditegaskan bila tindak pidana lingkungan oleh badan hukum maka sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.