Kebijakan Asesmen Nasional (AN) yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), namun juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan. Perubahan mendasar Asesmen Nasional (AN) adalah tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi memetakan sistem pendidikan, berupa input, output, proses, dan hasil. Potret layanan dan kinerja setiap sekolah dari Asesmen Nasional (AN) ini kemudian akan menjadi cermin bersama untuk melakukan refleksi, mempercepat perbaikan mutu pendidikan Indonesia.
Peningkatan mutu sistem pendidikan tidak hanya berorientasi pada pencapaian peserta didik dalam menguasai materi pelajaran dan nilai ujian akhir, apapun sebutannya. Keberhasilan sistem pendidikan lebih difokuskan pada pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Terlebih pada era transformasi pendidikan abad ke-21, dimana arus perubahan menuntut peserta didik menguasai berbagai kecakapan hidup yang esensial untuk menghadapi berbagai tantangan abad ke-21 sehingga peserta didik memiliki kecakapan belajar dan berinovasi, kecakapan menggunakan teknologi informasi, kecakapan hidup untuk bekerja dan berkontribusi pada masyarakat.
Bagaimana mungkin penilaian itu dilakukan oleh pemerintah?Â
Pemerintah khususnya Indonesia, untuk Asesmen Nasional (AN) diharapkan mengukur 271.000 satuan pendidikan, kurang lebih sekitar 9,5 juta peserta didik yang mengikuti Asesmen Nasional (AN) pada September dan Oktober 2021 dan hasilnya dikeluarkan pada Desember 2021. Jika kita, misalnya sebagai pemerintah ingin bijaksana, ingin mengetahui peserta didik yang pintar dalam menyany, peserta didik yang pintar dalam menari, yang pintar berbicara, yang pintar menulis, yang pintar dalam pilihan ganda, yang pintar jika disuruh berdebat, tidaklah mungkin mampu melakukan suatu asesmen terstandar terhadap 9,5 juta peserta didik dalam waktu 2 bulan dan dilaporkannya 1,5 bulan kemudian. Jadi, siapakah yang mampu memotret keunikan dan potensi setiap peserta didik? Jawabannya, itu adalah bapak ibu guru di satuan pendidikan masing-masing.
Jadi, sekarang kita memiliki dua cerita terkait Asesmen Nasional (AN) ini, yaitu cerita memotret sistem pendidikan dan cerita memotret individu peserta didik. Individu peserta didik dengan segala keunikannya itu menjadi ranah bapak ibu guru di satuan pendidikan masing-masing, bapak ibu guru lah yang paling mengetahui peserta didik A cocoknya diapakan, peserta didik si B cocoknya bagaimana. Pemerintah tidak mampu melakukan asesmen yang bersifat individu yang disesuaikan untuk setiap individu peserta didik. Oleh karena itu, Asesmen Nasional (AN) tidak bertujuan untuk memotret hasil belajar individu peserta didik, tidak akan ada nilai individu peserta didik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya, Chika Haura Nur Afifah dari SDN Ciseupan dengan nilai sekian.
Asesmen Nasional (AN) akan menyensus semua satuan pendidikan, tetapi di setiap satuan pendidikan tidak semua peserta didik akan diukur. Jadi, karena tidak semua peserta didik diukur, maka akan menjadi aneh jika ada hasil nilai hasil berupa Nilai Asesmen Nasional peserta didik. Misalnya, kita mempunyai 200 peserta didik, yang dipilih menjadi sampel hanya 30 peserta didik, lalu kemudian kita mengeluarkan hasil berdasarkan peserta didik pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai peserta didik ke-30 itu akan menjadi aneh karena ada 170 peserta didik lainnya yang tidak mengikuti Asesmen Nasional (AN). Jadi, pemilihan sampel peserta didik itu untuk menegaskan bahwa Asesmen Nasional (AN) bukan evaluasi individu peserta didik.
Filosofinya apa?Â
Yang pertama, filosofinya adalah karena kita meyakini bahwa kita sebagai manusia memiliki potensi, keunikan, dan kelebihan. Filosofi kedua, kelebihan tersebut akan dapat teridentifikasi dengan menggunakan asesmen yang bersifat khas, yang disesuaikan untuk memotret bagaimana individu peserta didik itu memiliki potensi. Kemudian, filosofi yang ketiga adalah kita meyakini bahwa mengapa hasil belajar kognitif yang diukur itu tidak lagi hasil belajar by content, tetapi lebih kepada kemampuan bagaimana pemahaman itu digunakan untuk diterapkan, untuk bernalar, untuk menjadi problem solver dari masalah-masalah baik konteks personal, konteks lokal maupun konteks global.
Perubahan yang cepat ini membutuhkan kompetesi maupun skill yang juga berbeda. Sebagai contoh, dahulu membaca tabel sangat diperlukan untuk mampu travelling dari suatu tempat ke tempat lain, tabel perjalanan kereta subway, MRT yang berada di Kota New York dan beberapa kota lainnya. Jadi, pada saat itu, kompetensi membaca tabel waktu (scheduling time table) itu penting sekali, karena jika tidak bisa membacanya akan berakibat tersesat, tertinggal kereta. Namun, sekarang sudah ada teknologi dengan melihat Google Map, dari mana kemana tinggal kita masukkan nama tempatnya, moda transportasinya pun bisa kita pilih mobil, motor, dengan pilihan rutenya mau lewat tol atau luar tol, mau berjalan kaki, mau yang the fastest time atau mau the shortest route sudah ada pilihannya. Bahkan jika menggunakan aplikasi yang sudah digunakan di Tokyo, Jepang sudah dapat memberikan pilihan berdasarkan harga termurah, transit terbanyak, transit tersingkat, yang berangkatnya sebelum jam sekian, yang sampai di tempat tujuan sebelum jam sekian itu kita lah yang akan menentukan dan kita tidak perlu menguasai time table yang begitu besar. Dengan demikian, terdapat pergeseran kompetensi. Kemudian, dengan adanya pergeseran kompetensi ini, bisa saja yang harus diukur pemerintah itu tidak lagi relevan jika mengukur pengetahuan yang bersifat sangat spesifik, jangan-jangan kita membutuhkan mengukur sesuatu yang bersifat lebih generik. Terdapat tabel yang menunjukkan bahwa untuk masalah-masalah yang lebih kompleks, hafalan itu tidak terlalu berguna, yang lebih berguna adalah kemampuan untuk bernalar, untuk ber-critical thinking. Inilah filosofi yang ketiga bahwa mengapa hasil belajar kognitif yang diukur itu tidak lagi hasil belajar by content, tetapi lebih kepada kemampuan bagaimana pemahaman itu digunakan untuk diterapkan, untuk bernalar, untuk menjadi problem solver dari masalah-masalah baik konteks personal, konteks lokal maupun konteks global. Sehingga disini kita pehami betul-betul bahwa apakah peserta didik yang sudah kita ajar bertahun-tahun itu siap untuk mandiri sebagai dirinya sendiri, untuk berfungsi kepada keluarganya, maupun berfungsi sebagai warga negara Indonesia dan khususnya lagi sebagai warga negara global. Itulah mengapa dipilih literasi membaca dan numerasi.
Jadi, kurang lebih itulah tiga filosofi mengapa dipilih literasi membaca dan numerasi dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Ingin potret yang lebih komprehensif, janganlah semua itu dibebankan kepada semua peserta didik, kemudian ingin menghargai peserta didik karena kita yakin setiap individu mempunyai kelebihan dan kita juga ingin memastikan bahwa yang dipotret itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilupakan namun sesuatu yang  kompetensinya sangat mendasar yang dapat digunakan untuk belajar sepanjang hayat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk dirinya sebagai warga dari masyarakat.
Setelah kita memahami tiga filosofi Asesmen Nasional (AN), diharapkan kita juga memahami pentingnya penerapan Asesmen Nasional (AN) terkait perbaikan mutu pendidikan. Lalu, bagaimana dengan teknis pelaksanaan Asesmen Nasional?