Lalu beberapa mahasiswa ada yang bertanya langsung kepada Mas Budi, menapa Mas Budi memilih genre dokumenter?. Mas Budi menyatakan bahwa dokumenter lebih real dan keseruannya lebih terbuka. Ia juga menambahkan jika genre fiksi itu sudah pasti aktor nya siapa, cerita nya seperti apa, dan lainnya pasti sudah fiks tetapi dokumenter lebih bertumbuh dan bisa melakukan banyak improvisasi. Lagipula itu hanya piliihan genre dan belum terlalu banyak yang menggunakan dokumenter sebagai genre film.
Pengalaman yang di dapat oleh Mas Budi dalam membuat film ini adalah tumbuh kembang itu alamiah, terjadinya pergeseran dalam pembuata dokumenter lebih fleksibel karena ketika terjadi perbedaan pendapat masih bisa diatasi karena tidak memiliki deadline. Lalu, Mas Budi mengatakan bahwa jangan takut untuk mencoba agar bisa mendapatkan eksperimen dan eksperimen yang di dapat bisa menjadi metode.
Kemudian, untuk manajemen produksi dari film ini, sebagai sutradara Mas Budi mengatakan bahwa produksi ini berjalan ketika budget nya ada. Pola manajemen produksi ini tidak ketat asal tetap bertanggung jawab dalam proses, itupun sering terjadi kesalahpahaman sebagai salah satu proses pendewasaan juga.
Mas Budi memberlakukan produksi yang bersifat bongkar-pasang, dimana dia ketika sedang berkumpul dengan teman lama dan jika ada teman yang memiliki visi-misi atau hobi yang sama maka mereka akan menawarkan diri untuk membantu menjalani produksi berjalan. Desain produksi itu tergantung nyaman dari diri sendiri, sebagai pola produksi sebaiknya memiliki pola produksi sendiri daripada pola yang ketat.
Film ini sudah mendapat banyak sekali penghargaan seperti, Best Documentary di China, Best Editing di Iran, dan Film Dokumenter terbaik di Indonesia. Bahkan Mas Budi bisa melakukan roadshow dari Eropa hingga ke Korea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H