Mohon tunggu...
Tisa Susanti
Tisa Susanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang penikmat novel yang memiliki mimpi menjadi seorang penulis novel dan psikiater.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang dan Tinggal

9 Desember 2013   21:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Percakapan singkat itu ternyata membawa perubahan perlahan. Hampir selalu ada senyum terulas di bibirnya setiap kali melihat Fakhri. Alika belum tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia hanya ingin menikmati perasaan itu seorang diri, tak mau membiarkan orang lain tahu, biar tak ada hati yag terpatahkan lagi. Senyum yang terpancar dari jarak 7 meter, bila Fakhri berada di dekatnya justru senyum itu hilang. Alika seolah tak peduli dengan kehadiran laki-laki itu.

Tak baik bila seorang perempuan memulai lebih dahulu. Ntar disangka perempuan gampangan lagi. Alika hanya berani melihatnya tertawa dari jauh. Merasakan hawa panas menyebar di sekujur tubuhnya ketika dia tertawa riang atau menggoda teman perempuan lainnya. Keberanian Alika hanya sampai pada merespon kicauan Fakhri di akun Twitternya. Keberanian yang berujung pada percakapan panjang tak nyata. YA mereka hanya berani bertegur sapa di dunia yang maya. Dunia nyata? Mereka seperti dua orang asing yang belum pernah bertemu.

Bukan perkara mudah buat seorang Alika yang terbiasa bicara blak-blakan menutupi perasaannya agar tidak diketahui teman-temannya. Namun semua keburu terlanjur ketika dia lupa meninggalkan handphone di kamar temannya. Pesan demi pesan pun terbongkar. “Alika sampai kapan kamu mau tetap begini? Berura-pura tak punya perasaan. Mau sampai kapan bertahan menunggu ketidakpastian? Memangnya kamu pikir dia yang lima tahun kamu tunggu juga menantimu juga? Buktinya sampai sekarang kalian beda kota dia semakin menjauh. Buka hatimu Alika,pakai logikamu. Kalau cinta mengapa harus gengsi? Dia malu tak berani memulai, tidak akan ada yang menyalahkanmu bila kamu memberinya kode terlebih dulu. Kamu hanya perlu keberanian dan dia hanya perlu stimulus untuk mengungkapkan perasaannya.” Nasihat panjang lebar dari sahabat dekatnya itu tak lantas dia lakukan sampai ada paksaan.

Paksaan yang disyukuri Alika saat itu, tepat seminggu sebelum mereka berani menjadi satu. Bukan Alika, bukan Fakhri tapi mereka berdua. Dua menjadi satu. “Perempuan punya hak untuk menjawab dan laki-laki berhak untuk bertanya.” ujar Alika saat itu.

“Aku gak bisa bikin kalimat yang bagus atau puitis aku gak romantis,tapi kamu mau kan sama aku?” Jari kelingking tangan kanan milik seseorang dihadapannya itupun terulur, Alika hanya menunduk tak menjawab dan mengaitkan kelingking kanan miliknya pada kelingking yang terulur itu. Yogyakarta di sini aku memulai langkah meatap ke depan, terimakasih langit Yogya kau saksinya.

*******

Dipandanginya jalanan Malioboro sore itu, guyuran hujan yang membasahi kota pelajar sesaat setelah dia menginjakkan kaki kembali di kota telah usai. Namun genangan air masih terlihat di sepanjang jalan. Menggenang seperti kenangan-kenangan sepanjang jalan pikirannya. Entah apa yang ada di pikiran Alika hingga memutuskan mengunjungi tempat itu. Ditinggalkannya koper di hotel langganan keluarganya. Semalam biarlah aku menenangkan diri tak kembali ke tempat kos. Toh teman-temannya belum ada yang tahu dia sudah kembali.

Alika hanya duduk terpaku di bangku taman depan Benteng Vredeburg. Tanpa sadar matanya melihat sepasang laki-laki dan perempuan asyik bercanda dan sang laki-laki tengah asyik memotret dengan objek si perempuan yang sedang memegang mawar putih. Pasangan yang bahagia, seperti aku dahulu batinnya. Biasanya mereka duduk di bangku-bangku taman itu mengamati keriuhan Yogyakarta di malam hari. Tapi sore ini hanya Alika sendiri.

Alika dan semua hal yang mendadak seperti semu tanpa kejelasan. Pesan yang dia terima dan foto yang dilihatnya seminggu lalu mengubah semuanya. Kalau bukan Fakhri yang mengirimnya dia tak akan begini sekarang. Merana sendirian di tengah jantung Yogyakarta. Dibacanya kembali email yang masuk seminggu lalu itu.

“dear Alika cerewet, apa kabarmu sekarang? Hampir sebulan kita tak bertemu. Sebulan sudah cukup untuk mengubahmu. Aku kira kamu sudah benar-benar melupakannya, aku kira tujuanmu ke Bandung untuk menengok sahabatmu.  Aku tahu melupakan yang kau kenal 7 tahun lebih sulit ketimbang melupakanku yang baru kau kenal 3 tahun. Tak perlu kau jelaskan apapun cukup aku yang meraaka, aku tak marah melihat foto dan komentar itu. Maafkan aku bila semuanya telah berubah sekarang ini bukan salah siapaun. Kau bebas memilih mungkin dia memang lebih romantis :(.”

Foto itu. Fotonya bersama seseorang dari masa lalu. Dia tak pernah sengaja bertemu dengan lelaki itu semua kebetulan semata. Foto saat liburan kemarin ketika Alika dan dua sahabatnya mengunjungi Lembang. Foto dia tengah duduk berdua di kursi bambu dan memegang sekuntum bunga. Bukan dia yang mengunggah foto itu. Dia bahkan baru tahu ada foto itu ikut terunggah. Sejak itu Fakhri sulit dihubungi hingga Alika memutuskan kembali ke Yogyakarta lebih cepat dari rencananya. Dia tak tak pernah mau kembali ke masa lalu, tak pernah ingin kehilangan tawa lebar bersama Fakhri. Hatinya makin tak menentu saat melihat timeline Fakhri penuh dengan percakapan dengan seorang perempuan yang entah siapa. Tertawa di Twitter sementara mention dari Alika tak dibalas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun