Sebagai jawaban alternatif unjuk rasa, Boluarte telah menawarkan untuk diadakannya pemilu lebih awal. Sementara Menteri Pertahanan Peru kala itu, Luis Alberto Otrola mengerahkan militer dan mengumumkan keadaan darurat untuk membendung gelombang unjuk rasa.
Meski begitu, upaya peredaman aksi unjuk rasa yang dilakukan ternyata belum mampu meredam gelombang protes yang ada.
Pengunjuk rasa tetap bersikeras untuk menyuarakan suara mereka terkait politik negara yang korup dan tidak terorganisir, serta menuduh adanya perlakuan tidak adil atas penggulingan pemimpin terpilih Peru, Castillo. Selain itu, pengunjuk rasa juga menuntut Boluarte untuk mengundurkan diri, membubarkan Kongres, merubah konstitusi, dan membebaskan Castillo.
Senin, 9 Januari 2022 dicatat sebagai hari dimana unjuk rasa paling keras terjadi.
Pada hari itu, 17 warga sipil tewas di wilayah Puno, wilayah Peru bagian selatan. Puno merupakan sebuah kawasan di Peru yang berbatasan langsung dengan Bolivia. Kawasan tersebut adalah rumah bagi para pribumi Aymara dan telah menjadi episentrum gerakan unjuk rasa para pendukung Castillo.
Di Kota Juliaca yang termasuk ke dalam kawasan Puno, para pengunjuk rasa menyerbu bandara setempat yang kala  itu tengah dijaga oleh pihak berwenang.
Kelompok HAM setempat  menuduh bahwa pihak berwenang menggunakan senjata berapi dalam menghadapi pengunjuk rasa. Pihak berwenang juga dituduh menggunakan senjata dan bahan peledak rakitan.
Pemerintah baru Peru telah mengeluarkan pernyataan pembelaan terkait dengan apa yang dilakukan oleh pihak berwenang untuk membendung aksi para pengunjuk rasa. Mereka mengklaim bahwa pihak berwenang saat itu hanya melakukan tugasnya untuk menjaga bandara dari upaya kudeta terorganisir yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa.
Kekerasan kemudian terus berlanjut hingga pada Selasa, 10 Januari petugas kepolisian dinyatakan tewas setelah mobilnya dibakar.
Banyaknya korban yang tewas dalam aksi unjuk rasa ini mendapat teguran dari Kantor Perwakilan PBB di Peru. Mereka menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya kekerasan yang terjadi. Mereka juga mendesak pihak berwenang agar mengambil tindakan darurat untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, termasuk hak untuk mengadakan unjuk rasa secara damai.
Karena peristiwa berdarah itu, Kejaksaan Agung setempat kemudian menyelidiki Presiden baru Peru Boluarte, Menteri Pertahanan baru Jorge Chavez, serta Menteri Dalam Negeri Victor Rojas dengan tuduhan "genosida, pembunuhan, serta cedera serius".