Pada Selasa, 10 Januari 2023 Kejaksaan Tinggi Peru menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan penyelidikan tahap awal terkait dugaan genosida oleh Presiden baru Peru, Dina Boluarte dan anggota kabinetnya.
Dugaan genosida terhadap jajaran pemerintah Peru tersebut ada karena aksi unjuk rasa yang telah berlangsung sejak awal Desember 2022 mengalami kericuhan. Dalam unjuk rasa yang telah berlangsung setidaknya 1 bulan tersebut, 40 warga sipil Peru tewas serta ratusan lainnya terluka.
Presiden Boluarte mengambil alih kursi kepresidenan Peru setelah mantan pemimpin Peru sebelumnya, Pedro Castillo terguling pada 7 Desember 2022 lalu.
Sebelum berhasil digulingkan pada Desember tahun lalu, Castillo telah menghadapi dua kali upaya penggulingan dan berkali-kali tuduhan korupsi. Namun, upaya-upaya sebelumnya tersebut selalu gagal.
Mantan Presiden Castillo akhirnya digulingkan dari jabatannya setelah ia berupaya untuk membubarkan Kongres dan memberlakukan pemerintah darurat. Upaya Castillo tersebut dikecam oleh para anggota Kongres Peru karena dianggap sebagai percobaan kudeta.
Sejak peristiwa tersebut, Castillo dianggap telah melakukan pemberontakan dan konspirasi. Namun, Castillo membantah tuduhan yang ditujukan padanya.
Selama masa pra-peradilan atas tuduhan tersebut, Castillo dijatuhi vonis tahanan selama 18 bulan karena dianggap rawan melakukan pelarian ke luar negeri.
Dalam salah satu sidangnya, Castillo menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan. Ia juga menyatakan bahwa ia masih menganggap dirinya sebagai Presiden Peru yang sah.
Setelah Castillo digulingkan, para pendukungnya turun ke jalanan kota-kota Peru untuk melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa tersebut digambarkan sebagai "pemberontakan nasional". Disebut sebagai "pemberontakan nasional" karena warga yang turut berunjuk rasa menyatakan bahwa mereka tidak tunduk kepada pemerintah baru yang merebut kekuasaan dari pemerintah sebelumnya.
Pemerintah baru yang disebut oleh pengunjuk rasa tentu saja adalah Presiden baru Peru, Dina Boluarte. Boluarte naik jabatan hanya berselang beberapa jam setelah Castillo terguling.
Dalam unjuk rasanya, para pengunjuk rasa menggambarkan sistem pengadilan Peru sebagai sistem peradilan yang korup, dan penahanan mantan Presiden mereka sebagai sebuah tindakan penculikan.
Sebagai jawaban alternatif unjuk rasa, Boluarte telah menawarkan untuk diadakannya pemilu lebih awal. Sementara Menteri Pertahanan Peru kala itu, Luis Alberto Otrola mengerahkan militer dan mengumumkan keadaan darurat untuk membendung gelombang unjuk rasa.
Meski begitu, upaya peredaman aksi unjuk rasa yang dilakukan ternyata belum mampu meredam gelombang protes yang ada.
Pengunjuk rasa tetap bersikeras untuk menyuarakan suara mereka terkait politik negara yang korup dan tidak terorganisir, serta menuduh adanya perlakuan tidak adil atas penggulingan pemimpin terpilih Peru, Castillo. Selain itu, pengunjuk rasa juga menuntut Boluarte untuk mengundurkan diri, membubarkan Kongres, merubah konstitusi, dan membebaskan Castillo.
Senin, 9 Januari 2022 dicatat sebagai hari dimana unjuk rasa paling keras terjadi.
Pada hari itu, 17 warga sipil tewas di wilayah Puno, wilayah Peru bagian selatan. Puno merupakan sebuah kawasan di Peru yang berbatasan langsung dengan Bolivia. Kawasan tersebut adalah rumah bagi para pribumi Aymara dan telah menjadi episentrum gerakan unjuk rasa para pendukung Castillo.
Di Kota Juliaca yang termasuk ke dalam kawasan Puno, para pengunjuk rasa menyerbu bandara setempat yang kala  itu tengah dijaga oleh pihak berwenang.
Kelompok HAM setempat  menuduh bahwa pihak berwenang menggunakan senjata berapi dalam menghadapi pengunjuk rasa. Pihak berwenang juga dituduh menggunakan senjata dan bahan peledak rakitan.
Pemerintah baru Peru telah mengeluarkan pernyataan pembelaan terkait dengan apa yang dilakukan oleh pihak berwenang untuk membendung aksi para pengunjuk rasa. Mereka mengklaim bahwa pihak berwenang saat itu hanya melakukan tugasnya untuk menjaga bandara dari upaya kudeta terorganisir yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa.
Kekerasan kemudian terus berlanjut hingga pada Selasa, 10 Januari petugas kepolisian dinyatakan tewas setelah mobilnya dibakar.
Banyaknya korban yang tewas dalam aksi unjuk rasa ini mendapat teguran dari Kantor Perwakilan PBB di Peru. Mereka menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya kekerasan yang terjadi. Mereka juga mendesak pihak berwenang agar mengambil tindakan darurat untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, termasuk hak untuk mengadakan unjuk rasa secara damai.
Karena peristiwa berdarah itu, Kejaksaan Agung setempat kemudian menyelidiki Presiden baru Peru Boluarte, Menteri Pertahanan baru Jorge Chavez, serta Menteri Dalam Negeri Victor Rojas dengan tuduhan "genosida, pembunuhan, serta cedera serius".
Selain itu, Kejaksaan Agung juga akan menyelidiki mantan Perdana Menteri Peru Pedro Angulo dan mantan Menteri Dalam Negeri Caesar Cervantes. Kedua mantan pejabat Peru itu dianggap memiliki keterlibatan dalam menangani unjuk rasa yang terjadi karena sempat bertugas selama beberapa minggu di bawah Boluarte.
Menanggapi sederetan insiden dan penyelidikan yang terjadi di Peru, Juru Bicara Dewan HAM PBB Marta Hurtado meminta kepada pihak penyidik agar melakukan penyelidikan yang cepat, netral, dan efektif atas kematian dan cedera serta meminta pertanggungjawaban dan memastikan para korban menerima akses ke keadilan serta pemulihan.
Sumber: CNN, Reuters, dan The Guardian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H