dan betapa girang ia menemukan sesosok pria tua yang membuatnya mecintai puisi.
"Pak Sapardi!" teriaknya, lalu memeluk Sapardi. Lalu diciumnya tangan yang berkeriput itu, yang bagaikan akar merahasiakan segala rindu dari hujan di bulan Juni.
Dipeluknya sekali lagi karena rindunya adalah rindu angin kepada siul dan daun kering di halaman.
Sapardi yang rendah hati, tersenyum asri kepadanya. Dan setelah menceritakan masalahnya kepada Sapardi, Sapardi pun berkata :
"puisi romantis yang dalam itu adalah puisi yang terngiang dalam mimpinya, menggantikan hangat selimutnya. Puisi tersebut haruslah jujur dan berisi bunyi yang nyaring, yang akan menggema dalam lubuk hatinya."
pria itu pun menggangguk-angguk hingga lehernya patah. Sekali lagi mencium tangan Sapardi yang sekejap kemudian menjadi abu. Maka setelah berduka yang sekian kali, ia pun kembali ke dunia nyata yang penuh ironi.
diajaknya calon istrinya itu duduk menyaksikan ia membacakan puisi di atas panggung.
puisi itu berbunyi seperti ini :
"aku mencintaimu." suaranya bergema dalam teater itu. "mari kita saling membelakangi, mengejar karir masing-masing, dan menikah dengan jodoh masing-masing.
Kita ini miskin, sebaiknya mencari kebahagiaan di dunia yang penuh gengsi;
menuntut materi, pekerjaan mapan dan memiliki mobil agar dibilang kaya oleh tetangga. Jangan mabuk dalam romantisisme akibat dongeng-dongeng resapan ala Juliet dan Romeo yang konyolnya mati bunuh diri. Perut diberi makan nasi, bukan kerikil. brankas diisi investasi-investasi crypto yang ambisius, bukan harapan-harapan manis cinta sehidup semati."
sontak mulut Si calon istri menganga, lalu melompat dan memeluk pria.