"Pernah memeluk saudaramu?", Mikael bertanya pada drone itu. Ia mengutak-atik sesuatu di badan mesin itu lalu menjatuhkan dirinya dengan hanya memegang bagian kanan senjata drone tadi. Ia menghentakkan dirinya sekuat - sekuatnya lalu bergelantung pada senjata mesin. Tak ayal, Drone itu pun tersentak dan menikung tajam, Bersama lengkingan, Mikael melepaskan drone tersebut. Membuat mesin pembunuh itu berputar-putar dengan cepat menyambut drone terakhir yang terbang menuju Mikael.
"Zzdarrrr... Bzzzttt... Zzdaarrr!", suara ledakan keras terdengar. Kedua drone tersebut saling menabrak, meledak beruntun dan hancur berserakan. Ternyata drone terakhir terkena ledakan baterai drone tunggangan Mika sesaat setelah drone pertama ditembaki oleh drone terakhir.
Mika terjun bebas ke dalam sungai. Tenggelam sesaat lalu muncul kembali kepermukaan. Ia menenangkan sejenak nafasnya yang terputus-putus.
"Kamu tak apa?", Mika menanyakan kondisi Helen.
"Bodoh, seharusnya aku yang bertanya begitu!", Helen membentak mika, tangannya ia pukulkan keras diatas permukaan sungai. Kesal, kuatir, takut, gusar, dan protes.
"Baiklah, kuanggap itu ya!", Mika malah terkekeh.
Mentari sudah tenggelam. Kedua insan itu berusaha berenang ke tepian. Karena sudah tidak mungkin lagi mereka melanjutkan arung jeram-nya dengan keadaan dan kondisi seperti ini. Ingin rasanya cepat beristirahat namun semua sepertinya belum akan berakhir. Ledakan enam drone adalah seperti sinyal S.O.S yang akan memanggil lebih banyak drone lagi untuk datang menyerbu. Ini tak baik, sungguh tak baik! Sebenarnya pikiran Mika kalut, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Pikirnya masih ada sekitar 30 menit lagi hingga drone -drone lain yang menyusul dari markas musuh bisa tiba di tempat ini.
Belum sampai mereka ke pinggiran sungai. Sebuah cahaya terang bergerak dengan cepat dari arah hilir sungai.
"Sial! Speedboat!", Mika mengeluh ini adalah kemungkinan yang meleset dari perhitungannya. Ia sama sekali lupa memikirkan serangan musuh dari air!
"Ayo cepat, cepat, cepat!", Mika memburu kayuhan tangannya. Tiba ditepian mereka mencoba untuk berlari, namun sulit akibat genangan lumpur dibawah sana mengisap kaki mereka.
Susah payah mereka sampai di dataran kering, ternyata keduanya tak menemukan tempat untuk bersembunyi. Karena di sisi sungai itu ada sebuah tebing tinggi yang sulit untuk dipanjat. Kali ini keduanya terlihat pasrah. Lebih-lebih speedboat itu telah menerangi mereka dengan lampu sorot yang sangat menyilaukan.