Mohon tunggu...
Tiopan Sipahutar
Tiopan Sipahutar Mohon Tunggu... Konsultan - Doktor Kesehatan Masyarakat

TIOPAN SIPAHUTAR, merupakan lulusan Doktor Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia. Berhasil menyelesaikan pendidikan doktor dalam 2,5 tahun, Tio (sebagai nama panggilan) sudah aktif meneliti dan bahkan menjadi aktivis penanganan stunting di beberapa wilayah di Indonesia. Hingga saat ini, aktif menjadi pengajar tidak tetap di FKM UI, menulis buku dan artikel kesehatan, dan menjadi konsultan untuk lembaga non pemerintah dan pemerintah. Beliau sudah menerbitkan beberapa tulisan ilmiah terkait stunting dan juga buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Revisit Definisi dan Intervensi Stunting di Indonesia

20 Mei 2024   21:29 Diperbarui: 24 Mei 2024   10:41 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara pemprov NTB untuk menurunkan angka stunting salah satunya dengan mmanfaatkan peran aktif posyandu. (Shutterstock via Kompas.com)

Pada tanggal 19 Maret, Wakil Presiden mengumpulkan menteri dan pihak terkait untuk membahas penurunan prevalensi yang hanya turun 0,1 persen (prevalensi nasional 21,5% tahun 2023) berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dibandingkan prevalensi stunting pada tahun sebelumnya[1]. 

Pada saat yang sama, Wapres meminta agar semua pihak terkait melakukan evaluasi apakah target prevalensi stunting 14 persen dapat tercapai pada tahun 2024.

Prevalensi stunting merupakan salah satu program prioritas dalam pemerintahan Presiden Jokowi; dan tahun 2024 adalah tahun terakhir untuk mengetahui apakah program intervensi stunting dapat mencapai target atau tidak. 

Semua pihak memang seyogianya harus melakukan evaluasi baik lembaga secara independen atau secara kolektif. Tujuan evaluasi sebaiknya tidak hanya fokus kepada angka tetapi kepada substansi stunting-nya sendiri, dengan demikian untuk pemerintahan selanjutnya penanganan stunting dapat semakin jelas dan terarah.

Kehati-hatian dalam membandingkan data

Laporan lengkap SKI tahun 2023 belum dipublikasikan, sehingga belum diketahui apakah metode pengambilan data pada SKI 2023 sama dengan metode yang digunakan oleh SSGI. 

Laporan SSGI terakhir tidak menampilkan metodologi pengambilan data secara detail seperti yang tergambar pada Riset Kesehatan Dasar 2018. Namun demikian, intinya adalah perlu kehati-hatian dalam membandingkan data, apalagi jika metodologi yang digunakan cukup berbeda. 

Jika diasumsikan bahwa SKI adalah lanjutan dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, maka telah terjadi penurunan prevalensi stunting sebesar 9,3 persen dalam kurun waktu kurang lebih 5 tahun atau kira-kira sebesar 1,86 persen setiap tahun. 

Angka ini sangat fantastis, mengingat di negara seperti Peru, mampu menurunkan prevalensi stunting 18,2 persen selama 17 tahun atau dengan kata lain Peru dapat menurunkan prevalensi stunting kira-kira sebesar 1,07 persen setiap tahunnya. 

Namun demikian, pada faktanya, penurunan prevalensi stunting ini tidak begitu menggembirakan jika dibandingkan target yang harus dicapai pada tahun 2024. Indonesia masih berhutang untuk menurunkan prevalensi stunting sebesar 7,5 persen dalam satu tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun