Seluruh dunia dan tanpa terkecuali Indonesia, saat ini sedang mengalami guncangan yang tidak pernah diprediksi sebelumnya yaitu pandemi Covid-19.Â
Jika perang dunia kita dapat melihat siapa musuh yang akan kita lawan, tetapi di masa pandemi, musuh kita berukuran sangat kecil sampai tak dapat ditangkap oleh mata manusia. Disamping kecil, virus ini sangat cepat menular antara satu orang dengan orang lain dan pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan kematian.Â
Selain mengganggu kehidupan manusia pada aspek kesehatan, pandemi ini juga mengganggu kehidupan perekonomian. Banyak pekerja yang diberhentikan, banyak kepala keluarga mulai mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.Â
Sulit sekali membayangkan kondisi di masa pandemi; sebelum pandemi saja jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 24,79 juta orang berdasarkan laporan BPS dan kemungkinan besar jumlah yang miskin ini bertambah.
Pemerintah melalui Presiden Jokowi mengumumkan akan dan sudah mengucurkan dana tambahan untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun dan sebesar 110 Triliun dari dana tersebut digunakan untuk Jaringan Pengaman Sosial. Dana yang dikucurkan ini sangatlah besar walaupun ini tidaklah cukup.
 Selain dana dari pusat, dana dari daerah juga akan dikucurkan dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi penduduk Indonesia. Namun, sayangnya, dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kisruh.Â
Ada penduduk miskin justru tidak mendapat, tetapi penduduk yang tidak miskin justru mendapat bantuan. Di DKI Jakarta, kita tahu bahwa telah terjadi tumpang tindih bantuan. Penyebaran bantuan juga belum berjalan merata. Terlepas entah ada isu politik atau tidak, masalah ini sangat erat kaitannya dengan kebenaran sebuah data.
Di dalam statistik, jika kita hendak mengambil sampel secara acak sederhana, kita memerlukan yang disebut dengan sampling frame atau kerangka sampel.Â
Misalnya, kita hendak melakukan suatu survei rumah tangga di desa X dan ingin mengambil sampel secara acak, maka kita perlu data jumlah seluruh rumah tangga di desa X. Data jumlah seluruh rumah tangga ini disebut sebagai kerangka sampel. Dalam konteks pembagian bantuan sosial, jika pemerintah akan memberikan bantuan kepada penduduk miskin, tentunya pemerintah memerlukan apa yang disebut dengan data penduduk miskin.Â
Setiap desa atau kelurahan tentunya memiliki data ini. Desa atau kelurahan merupakan unit terkecil dari tatanan administasi masyarakat sehingga tidaklah sulit jika hendak melakukan pendataan, apalagi jika sudah memiliki sampling frame. Oke, kita sebutkan saja bahwa kisruhnya tidak terjadi pada level desa sebab yang membagi adalah pemerintah kabupaten atau kotamadya. Jika demikian, data mana yang dipakai oleh kabupaten/ kotamadya?Â
Saya kurang paham, apakah bupati atau walikota meminta data ke setiap kepala desa atau lurah atau mereka memakai data BPS dalam Angka yang dikeluarkan setiap tahunnya pada tingkat kabupaten.Â
Jika saja perencanaan di tingkat kabupaten/ kotamadya menggunakan data BPS, maka seharusnya ketimpangan tidak terlalu besar di masyarakat; tetapi apakah data yang dikeluarkan setiap tahunnya dari BPS sudah benar-benar mencerminkan kondisi masyarakat sesungguhnya? Atau apakah ada perbedaan penetapan kriteria penduduk miskin? Namun, apapun intinya, masalah ini sangat terkait dengan data!
Hasil melakukan penelurusan terhadap data persentase penduduk miskin yang tercantum pada Kabupaten Dalam Angka dengan Laporan Kemiskinan BPS pada tahun yang sama yaitu 2018 menemukan dua poin berikut:
- Sebanyak 18 kabupaten tidak memiliki data kemiskinan
- Sebanyak 122 daerah memiliki perbedaan data persentase penduduk miskin lebih dari 1% antara data yang tersedia di dalam Kabupaten Dalam Angka dan Laporan Data dan Informasi Kemiskinan BPS.
Hal ini menggambarkan betapa negara kita kekurangan data yang tepat. Dalam hal ini, data mana yang akan dipakai? Data mana yang benar? Apakah dinas sosial memiliki lagi data yang lain? Â Melihat hal ini, sangatlah wajar apabila terjadi perbedaan-perbedaan dan kisruh-kisruh dalam pembagian bantuan sosial baik pada masa pandemi; lha wong sumber data nya saja tidak tahu pakai yang mana? Apa mungkin data penduduk miskin akan lebih valid saat dekat Pilkada? Hmmm...
Belajar dari hal ini, negara kita harus berbenah terkait urusan dengan data. BPS yang mengeluarkan data kemiskinan harus dapat memastikan data tersebut benar sehingga pemerintah daerah dapat menjadikannya sebagai acuan dalam membuat kebijakan. Sekarang ini, kita baru bicara data kemiskinan, kita belum bicara data lain misalnya angka penggangguran, angka perceraian, dll. Satu variabel ini saja kita morat marit, gimana dengan yang lain....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H